Friday, March 28, 2014

Wajah Bopeng Institusi DPR

Cover Buku DPR Offside (ist)
Judul Buku: DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia
Penulis: Desmond J. Mahesa
Penerbit: RMBooks Jakarta
Edisi: 2013
Tebal: 308+xiv halaman

Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR adalah sebuah institusi negara yang paling banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat. Tugasnya ialah mengurusi soal legislasi. Institusi yang beralamat di Senayan ini dikenal sebagai lembaga legislatif.

Lembaga ini diisi oleh para politisi. Latar belakang para politisi yang duduk di DPR bermacam-macam, mulai dari akademisi, pengusaha, aktivis, hingga artis.

Atas nama wakil rakyat, lumrah jika para anggota DPR itu jadi sorotan tajam dari publik negeri.
Belakangan, sorotan tajam mata rakyat kepada para petinggi Senayan justru lebih dominan aspek negatifnya ketimbang sisi positif. Apa lacur?

Ya, diakui atau tidak publik sudah mulai jengah dengan polah serta perilaku beberapa anggota DPR yang bertolakbelakang dengan stigma bahwa DPR adalah representasi dan perwakilan rakyat untuk mengurusi negeri ini.

Citra anggota DPR telah runtuh di mata dan hati nurani publik negeri.  Wajah DPR hari ini buram untuk tak dikatakan suram. Kinerjanya pun memperoleh nilai minus dalam skala penilaian publik.

Sejumlah kasus korupsi dan pelanggaran hukum lainnya yang kerap menimpa pejabat Senayan membuat publik kian geram. Kinerja para politisi yang mengaku dirinya perwakilan rakyat di gedung nan megah di Senayan dianggap publik negeri telah merugikan banyak pihak, terutama rakyat negeri ini. Sehingga tak heran jika lembaga legislatif ini kadang dinilai memang patut dibubarkan.

Seperti dipaparkan di pembahasan awal dalam buku yang ditulis oleh salah satu dari anggota DPR ini bahwa citra buruk DPR sejalan dengan citra buruk partai politik di mata publik. Pasalnya, partai politik dianggap sebagai biang keladi di balik buruknya kualitas, kapasitas serta kemampuan anggota DPR dalam partisipasi mereka membangun negeri ini. 

Anggota DPR, seperti dipaparkan Desmond, hanya membawa kepentingan pribadi dan kelompok belaka. Perilaku pejabat Senayan dinilai publik telah menyimpang dari harapan masyarakat. Partai politik yang menyalurkan kader-kadernya ke DPR tidak boleh serampangan dalam melakukan seleksi siapa sosok yang pantas untuk mengemban amanah rakyat ketika duduk di kursi Senayan.

Buku ini secara khusus membahas mengenai kiprah DPR dan anggotanya yang memperankan lakon antagonis yang selama ini terjadi di lingkungan lembaga legislatif. Dengan kata lain, jika ingin mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang kiprah anggota DPR, maka buku ini memberikan sajian yang sayang untuk dilewatkan.

Buku setebal 308 halaman ini adalah sebuah pengakuan. Sebab, penulisnya merupakan seorang anggota DPR yang duduk di komisi III dan Badan Anggaran DPR RI. Hal ini menjadi menarik untuk dibaca dan dikaji tentang ulasan yang komprehensif mengenai peran DPR dan kiprah para anggotanya selama duduk di kursi kehormatan.

Namun, hal yang perlu disayangkan dari buku terbitan RMBOOKS ini selain mengupas kebobrokan DPR, tetapi di satu sisi penulis terkesan melakukan sebuah upaya pembelaan.

Hal menarik lainnya atas kehadiran buku ini ialah berupa kesadaran yang dikedepankan oleh sang penulis setelah mengetahui dan menyaksikan kebobrokan DPR dan anggotanya.

Percayalah, kritik tajam yang dilontarkan masyarakat selama ini terhadap kinerja anggota DPR telah mengguncang sisi psikis mereka sebagai penyambung lidah rakyat. Dan untuk itulah buku ini ditulis. (Erit A)

Tuesday, August 20, 2013

Kritik Presiden Lewat Tulisan

Oleh Baina Dwi Bestari 
Menyajikan topik politik dan kasus-kasus di dalamnya. Mahesa mengajak pembaca menyelami keresahannya tentang kepemimpinan Presiden SBY.



Judul          : Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan
Penulis      : Desmond J Mahesa
Editor         : Ali Mustofa, Saripudin HA
Penerbit     : VisiMedia, Jakarta, Mei 2012
No. ISBN   : 9790651503


Desmond J Mahesa bukan nama asing lagi di dunia perpolitikan Indonesia. Ia adalah salah satu aktivis yang diculik Tim Mawar pada tahun 1998. Kekritisannya mengenai perpolitikan Indonesia juga bukan yang pertama kalinya. Ia merupakan salah seorang yang menandatangani lembar hak Menyatakan Pendapat untuk tindak lanjut kasus Bank Century.

Dalam buku ini, Desmond mengkritisi presiden lewat pemaparan fakta tentang kesalahan-kesalahan seperti penilaiannya bahwa ketidakmauan Presiden SBY dalam melakukan intervensi terhadap proses hukum. Bahwa hal tersebut merupakan dalih pembenaran bagi sikap gamang presiden dalam mengambil kebijakan untuk pemberantasan korupsi.

Contoh fakta lain yang Desmond kritisi adalah tidak adanya tanggung jawab presiden dalam kasus bailout (menggelontorkan uang rakyat) dalam kasus Bank Century. Karena, hingga masa kerja Panitia Khusus (Pansus) Century berakhir, Pansus masih tidak memeroleh sejumlah bukti penting terkait putusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan agar lembaga Penjamin Simpanan menyuntikkan bailout ke Bank Century. Menurutnya, apabila Presiden memang bertanggung jawab, seharusnya Presiden menegur bawahannya dan memberikan sanksi bila perintahnya tidak kunjung dilaksanakan.

Bukan hanya ini, masih banyak fakta disajikan Desmond yang ia rangkum dalam sebelas bab dalam buku ini. Pada penutupnya, ia menuliskan opininya mengenai pemakzulan Presiden SBY sebagai jawaban atas kritikan-kritikannya yang pedas di sepuluh bab awal.

Ditulis dengan bahasa yang lugas hingga pembaca mudah mengerti dan mengerti apa yang ingin ia sampaikan dan kritisi. Meskipun topik yang diangkat terlihat berat dengan 330 halaman, namun cara Desmond menyajikannya membuat ringan.

Judul buku yang provokatif sejalan dengan fakta-fakta, bukti dan landasan kuat dan banyak, sehingga kritik yang Desmond paparkan terlihat begitu nyata. Jika pembaca merupakan orang yang buta akan dunia perpolitikan, maka Desmond dapat ‘mengajari’-nya dengan pemaparan yang sangat rinci hingga ia mengerti.

Ketika membaca buku ini, pembaca akan dibawa kepada emosi Desmond tentang ketidakberesan Presiden selama masa jabatannya.

Akan tetapi, salah satu hal yang membuat buku ini menjadi tidak menarik adalah karena halamannya yang cukup tebal dengan ukuran luas 18x25 cm.

Namun, untuk menyajikan topik sosial-politik ke dalam sebuah buku dan menjadikannya enak Desmond sudah berhasil. Bagi pecinta politik, buku ini sangat cocok dibaca untuk menambah wawasan dan kekritisan.***


Wednesday, February 11, 2009

UNTUK ACEH LEBIH BAIK

Judul: UNTUK ACEH LEBIH BAIK: Ide, Kerja, dan Harapan Ahmad Farhan Hamid
Penulis: Saripudin H.A.; Editor: Muh. Hafid; Penerbit: Kitabuku, Jakarta; Cetakan: I, Februari 2009; ISBN: 978-979-19326-0-8; Tebal: 56 hlm; Ukuran: 21x 28 cm

BUKU ini me­­narik perhatian karena ditampilkan da­lam format yang tak biasa. Tampilan model ini lazimnya ditemui pada majalah. Jika boleh ber­promosi, dengan meminjam tag line ma­ja­lah terkenal di Jakarta, TEMPO, buku ini dapat di­sebut “enak dibaca dan perlu”.

Penulis buku ini, Saripudin H.A., sebelumnya telah men­jadi editor dua buku saya, Jalan Damai Nanggroe Endatu (2006) dan Partai Politik Lokal di Aceh (2008). Jadi, penulis sudah cukup­ mengenal saya sebagai obyek tulisannya. Pe­nulis­ sendiri sudah sejak tahun 2001 hingga 2008 menjadi staf ahli salah seorang Wakil Ketua DPR-RI dan Wakil Ketua MPR-RI.

Setelah membaca buku ini, tak salah, pe­nu­lis cukup ber­hasil menyampaikan maksudnya, tanpa puji­an yang berlebihan dan tanpa kehilangan sifat kritis­nya yang lembut. Lebih dari sekadar catatan yang memuat “laporan pertang­gungjawaban” seorang wakil rakyat di Senayan.

Tetapi, buku ini tak merekam semua kegiatan saya selama duduk di MPR/DPR-RI (1999-2009). Saya memahami, tam­paknya hanya yang dipandang penting oleh penulis sajalah yang diutarakan untuk dibahas. (Ahmad Farhan Hamid)

Note: Untuk pemesanan, sila hubungi Bagian Pemasaran, H. Safwan Nur +62813.1903.6606.

Sunday, January 25, 2009

Menuju Televisi yang Ramah Keluarga

Saat ini tercatat ada 11 stasiun televisi di Indonesia plus puluhan televisi lokal. Tiap hari pemirsa televisi di Indonesia dijejali dengan aneka program acara. Masing-masing stasiun bersaing untuk menarik perhatian pemirsa televisi. Di tengah banyaknya sajian acara di televisi ini, yang belum banyak dilakukan adalah menanyakan kepada pemirsa bagaimana penilaian mereka atas acara-cara tersebut. Apakah acara-acara yang disajikan oleh televisi itu baik bagi mereka, apakah ramah bagi anak-anak, apakah menambah informasi dan meningkatkan daya kritis mereka, dan sebagainya.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan akhir tersebut, Yayasan SET, Yayasan TIFA, The Habibie Center, IJTI, dan LSPR mengadakan riset Rating Publik di 11 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang, dengan 220 responden. Dari jumlah ini sebanyak 191 kuisioner kembali dan dianalisis. Proses wawancara lapangan berlangsung Maret-April 2008. Riset ini dilakukan oleh tim peneliti yang terdiri dari Agus Sudibyo (Project Director), Eriyanto (Peneliti Utama), serta
Aunul Huda dan Bejo Untung (Asisten Peneliti).

Hasil riset menunjukkan, 51,8% responden menilai jumlah tayangan untuk anak kurang banyak, bahkan 32,5% responden menilai jumlahnya sangat sedikit. Dari aspek kualitas, 46,1% responden menilai program anak-anak di TV saat ini berkualitas buruk.

Secara umum, 51,8% responden menilai kualitas program acara TV biasa saja, 27,2% menilai sudah baik, sedang 24,6% menilai buruk. Dilihat dari aspek memberikan model perilaku yang baik, TV kita masih berkualitas buruk. Hanya 10,5% responden yang menilai program-program TV selama ini sudah memberi model perilaku yang baik. Sementara 58,6% menilainya buruk.

Pada tayangan hiburan, prosentase responden yang menilai buruk lebih besar, 68,6%. Sebagian besar responden menilai tayangan hiburan TV gagal menyajikan adegan tanpa kekerasan (59,2%), tanpa pornografi (51,8%), dan tema yang relevan dengan kenyataan di masyarakat (70,7%). Mereka menilai hiburan di TV tidak ramah kepada anak-anak (80,1%).

Sila hubungi lembaga penyelenggara riset untuk mengetahui hasil riset Rating Publik selengkapnya.[]

Wednesday, January 21, 2009

Trend Politisi Bikin Buku

NEWSLINKweb, Monday, November 17, 2008

Menerbitkan buku belakangan ini menjadi trend bagi para politisi. Hampir tak ada bulan berlalu tanpa peluncurunnya. Entah karena kemampuan intelektual mumpuni atau sekedar latah. Respon publik terhadap buku itu menjadi urusan belakangan. Apalagi menjelang pemilu legislatif, menjadi bagian alat kampanye untuk dibagi-bagikan ke konstituen. Peluncurannya pun biasanya diadakan di hotel megah dengan narasumber tokoh atau pengamat ternama.

Sementara, tulisan ini difokuskan ke para politisi Senayan. A.M. Fatwa salah satu ikon perlawanan rejim Orde Baru paling tidak telah menerbitkan 18 buku sejak keluar penjara sebagai tahanan politik sampai sekarang diposisi Wakil Ketua MPR. Fatwa, pantas disebut anggota yang paling produktif menulis buku, sehingga tak aneh dia menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Dua karya terbarunya Khutbah-khutbah Politik di Masa Orba dan Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2007). Fatwa memang rajin menuangkan ide orisinalnya jadi bukan sekedar kutipan atau tulisan di media massa dijadikan buku. Khusus perlawanannya terhadap rejim Soeharto digambarkan dalam Menggugat dari Balik Penjara (1999).

Yuddy Chrisnandy, tokoh muda Partai Golkar yang berniat menjadi capres menulis tesisnya dalam trilogi. Reformasi TNI, Hubungan Sipil dan Militer (2005), Kesaksian Para Jenderal (2006) keduanya diterbitkan LP3ES. Sementara Military Reform Post Soeharto Era (2007) diterbitkan NTU Singapura. “Disertasi saya dinilai penerbit bagus karena belum ada yang nulis secara akademis soal reformasi TNI. Apalagi saya melakukan wawancara ke lebih 26 jenderal. Buku pertama telah masuk cetakan kedua. Saya bahkan menerima bonus Rp 20 juta,” ujarnya. Menghangatnya isu capres belakangan ini, mendorong Yuddy merangkai kumpulan tulisan lewat Beyond Parliament (2008). “Sudah lama saya menulis di media tentang kepemimpinan pasca reformasi, hegemoni elit dan pentingnya pemimpin muda, jadi gak asal-asalan bikin buku,” tambah Yuddy.

Langkah Yuddy diikuti Aziz Syamsuddin. Wakil ketua Komisi III DPR ini mengangkat disertasi tentang perjudian menjadi buku Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian (2007).

Lain lagi, dengan politisi senior PDI Perjuangan, Sabam Sirait. Pria kelahiran 13 Oktober 1936 ini tidak tahu menahu kalau keluarganya termasuk anaknya Maruarar Sirait (anggota Fraksi PDIP) menyiapkan biografi Meniti Demokrasi Indonesia (2006). Buku ini dihadiahkan secara khusus saat merayakan ulang tahunnya ke-70 dalam suatu acara meriah dengan keynote speaker Megawati Soekarnoputri.

Pembahasan RUU pun bisa menjadi ide dasar. Otonomi khusus Aceh yang mendapat sorotan internasional menginspirasi Ferry Mursyidan Baldan, ketua pansus saat itu dan anggota DPR asal NAD Ahmad Farhan Hamid. Tak lama setelah pengesahan RUU dan penandatanganan MoU Helsinki, seolah berlomba hampir bersamaan Ferry dan Ahmad Farhan membukukan kronologis pembahasannya.

Bagaimana respon publik atas “hujan” peluncuran buku itu? Barangkali bicara sukses secara komersial justru dirasakan oleh mantan anggota DPR periode 1999-2004 Baharuddin Aritonang. Empat buku ditulisnya. Orang Batak Naik Haji (2002), Ketawa Ngakak di Senayan (2003), Dari Uang Rakyat Sampai Pasien Politik (2004), serta Orang Batak Berpuasa (2007) setelah dia bertugas sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BA, demikian Baharuddin disapa, bangga sebab tahun lalu dikabari oleh Ketua DPR Agung Laksono, buku Ketawa Ngakak disimpan di perpustakaan Capitol Hill untuk seksi Indonesia. “Padahal biasanya yang dipajang di library of congress Amerika Serikat itu bernada serius lo,” ujarnya tersenyum pekan lalu. Cerita-cerita para anggota saat di Senayan, ditulisnya secara jenaka namun orisinal. Buku itu telah dicetak ulang sampai empat kali. “Saya akan menulis lagi pengalaman di BPK,” janjinya.

Soal keraguan atas kualitas, Yuddy lebih suka berpikir positif tanpa lupa memberi saran. “Bikin buku itu bagus karena bisa menuangkan visi dan pengalaman aktivitas politik. Politisi jangan cuma ngomong, tapi harus bisa nulis. Tapi, tentunya buku ditulis sendiri ya. Bukan diorder ke orang lain penulisannya,” ujarnya.

Surip, penjual buku di Nusantara II Gedung DPR, mengakui menerima titipan buku-buku karya anggota dewan yang terhormat itu. “Gak bisa ditebak penjualannya. Pembeli kebanyakan tamu dari luar daerah yang datang ke paripurna. Buku Yuddy, Beyond Parliament laku. Sudah terjual 25. Mungkin karena baru launching atau karena dia mau capres ya,” kata Surip. Dia malah menegaskan buku terkait dengan Bung Karno yang dicari. Nah lo!.*[MO]

Sumber: http://newslinkweb.com/2008/11/17/trend-politisi-bikin-buku/

EDDIE WIDIONO DI BAWAH PUSARAN MEDIA


Judul: Eddie Widiono di Bawah Pusaran Media
Penulis: Qusyaini Hasan dll.
Penerbit: Nextmedia, Jakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 160 halaman

Sebagai arena publik, media massa seharusnya berfungsi memasok, memproduksi, dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan guna memfasilitasi pembentukan pendapat umum (opini publik) dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen. Namun, organisasi, modal, ideologi, maupun kultur yang dikembangkan memungkinkan institusi media tidak lagi menikmati kebebasan dan independensinya. Lebih dari itu, situasi ini memberikan ruang gerak baru bagi media untuk memunculkan orientasi, penyikapan, maupun ideologi sosial, ekonomi, maupun politik media yang direkonstruksikan melalui pemberitaannya.

Atas dasar itulah buku ini diterbitkan. Tidak hanya mendeteksi kecenderungan-kecenderungan sikap, orientasi, maupun ideologi pers, riset dalam buku ini juga mencoba menelisik lebih jauh bagaimana media melakukan penilaian, evaluasi, atau redefinisi terhadap fakta berita yang dibangun dalam suatu kemasan (pakage) sikap politik maupun ekonomi tertentu. Selain itu, riset juga menelusuri bagaimana media melakukan pemihakan dengan memberikan citra positif, penolakan dengan citra delegitimatif, maupun sikap netral akibat keberhati-hatikan dalam kebijakan redaksionalnya.

Lalu, mengapa sosok Dirut PLN dipentingkan dalam riset ini? Sebagai pejabat publik yang menangani persoalan kelistrikan nasional, sosok Eddie Widiono seringkali menjadi sorotan publik. Tak terbantahkan lagi, listrik yang menjadi hajat hidup rakyat banyak menempatkan Eddie Widiono sebagai orang nomor satu yang dapat dijadikan kambing hitam sekaligus muara persoalan jika kondisi kelistrikan nasional tidak memberikan kepuasan maksimal bagi seluruh rakyat. Sedikit saja terjadi sesuatu yang berkait dengan soal listrik, serta merta, namanya akan disebut-sebut. Apalagi saat terjadi kenaikan tarif dasar listrik, dia menjelma menjadi public enemy number one.

Penelitian ini mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; Bagaimana media massa memaknai dugaan korupsi yang melibatkan Eddie Widiono? Bagaimana pola maupun kecenderungan pemberitaan pers berkaitan dengan dugaan korupsi ini? Apakah media memperlihatkan orientasi politik maupun ekonomi yang berbeda terhadap fakta-fakta seputar kasus ini? Lebih dari itu, apakah media telah melakukan pencitraan tertentu terhadap sosok maupun figur Eddie Widiono, serta bagaimana melakukannya?

Selanjutnya, media massa cetak yang dijadikan subyek penelitian ini cukup beragam, baik dari segmentasi pembacara maupun produk jurnalistiknya, seperti berita dan tajuk rencana (editorial). Surat kabar/ koran yang terpilih antara lain Kompas, Rakyat Merdeka, Media Indonesia, Suara Pembaruan. Sedangkan majalah berita yang terpilih antara lain Tempo, Gatra, dan Trust.

Saturday, January 17, 2009

PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH


KOMPAS, Minggu, 14 September 2008

Diskursus Partai Lokal di Aceh

Judul : Partai Politik Lokal di Aceh, Desentralisasi Politik
dalam Negara Kebangsaan
Penulis : Ahmad Farhan Hamid
Editor : Saripudin HA

Penerbit : Kemitraan, Jakarta

Cetakan : I, Mei 2008

Tebal : 274 halaman


ISU partai politik (parpol) lokal di Aceh secara politis tertuang dalam lampiran Provisional Understanding yang ditandatangani­ Pemerintah RI dan wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Geneva, Swiss. Lampiran bertanggal 9 Januari 2001 itu menjadi dokumen pertama di Indonesia yang menyebut adanya calon nonpartai dan partai daerah atau parpol lokal yang dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan umum di Aceh.

Dalam perjalanannya, muncul kontroversi terhadap pembentukan parpol lokal yang dituntut oleh GAM tersebut. Sebagian berpendapat bahwa pembentukan parpol lokal di Aceh adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh.

Selain menyajikan format parpol lokal di Aceh, buku ini juga meng­uraikan sejarah dan perkembangan kepartaian di Indonesia sejak masa pendudukan Belanda dan Jepang hingga masa setelah reformasi. Penulis yang ter­catat sebagai konseptor awal UU Otonomi Khusus Aceh ini juga membahas sejarah dan perkembangan parpol lokal di beberapa negara, seperti Inggris, Spanyol, Finlandia, India, dan Malaysia. (TGH/Litbang Kompas)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/14/01154059/buku.baru