Sunday, January 25, 2009

Menuju Televisi yang Ramah Keluarga

Saat ini tercatat ada 11 stasiun televisi di Indonesia plus puluhan televisi lokal. Tiap hari pemirsa televisi di Indonesia dijejali dengan aneka program acara. Masing-masing stasiun bersaing untuk menarik perhatian pemirsa televisi. Di tengah banyaknya sajian acara di televisi ini, yang belum banyak dilakukan adalah menanyakan kepada pemirsa bagaimana penilaian mereka atas acara-cara tersebut. Apakah acara-acara yang disajikan oleh televisi itu baik bagi mereka, apakah ramah bagi anak-anak, apakah menambah informasi dan meningkatkan daya kritis mereka, dan sebagainya.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan akhir tersebut, Yayasan SET, Yayasan TIFA, The Habibie Center, IJTI, dan LSPR mengadakan riset Rating Publik di 11 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang, dengan 220 responden. Dari jumlah ini sebanyak 191 kuisioner kembali dan dianalisis. Proses wawancara lapangan berlangsung Maret-April 2008. Riset ini dilakukan oleh tim peneliti yang terdiri dari Agus Sudibyo (Project Director), Eriyanto (Peneliti Utama), serta
Aunul Huda dan Bejo Untung (Asisten Peneliti).

Hasil riset menunjukkan, 51,8% responden menilai jumlah tayangan untuk anak kurang banyak, bahkan 32,5% responden menilai jumlahnya sangat sedikit. Dari aspek kualitas, 46,1% responden menilai program anak-anak di TV saat ini berkualitas buruk.

Secara umum, 51,8% responden menilai kualitas program acara TV biasa saja, 27,2% menilai sudah baik, sedang 24,6% menilai buruk. Dilihat dari aspek memberikan model perilaku yang baik, TV kita masih berkualitas buruk. Hanya 10,5% responden yang menilai program-program TV selama ini sudah memberi model perilaku yang baik. Sementara 58,6% menilainya buruk.

Pada tayangan hiburan, prosentase responden yang menilai buruk lebih besar, 68,6%. Sebagian besar responden menilai tayangan hiburan TV gagal menyajikan adegan tanpa kekerasan (59,2%), tanpa pornografi (51,8%), dan tema yang relevan dengan kenyataan di masyarakat (70,7%). Mereka menilai hiburan di TV tidak ramah kepada anak-anak (80,1%).

Sila hubungi lembaga penyelenggara riset untuk mengetahui hasil riset Rating Publik selengkapnya.[]

Wednesday, January 21, 2009

Trend Politisi Bikin Buku

NEWSLINKweb, Monday, November 17, 2008

Menerbitkan buku belakangan ini menjadi trend bagi para politisi. Hampir tak ada bulan berlalu tanpa peluncurunnya. Entah karena kemampuan intelektual mumpuni atau sekedar latah. Respon publik terhadap buku itu menjadi urusan belakangan. Apalagi menjelang pemilu legislatif, menjadi bagian alat kampanye untuk dibagi-bagikan ke konstituen. Peluncurannya pun biasanya diadakan di hotel megah dengan narasumber tokoh atau pengamat ternama.

Sementara, tulisan ini difokuskan ke para politisi Senayan. A.M. Fatwa salah satu ikon perlawanan rejim Orde Baru paling tidak telah menerbitkan 18 buku sejak keluar penjara sebagai tahanan politik sampai sekarang diposisi Wakil Ketua MPR. Fatwa, pantas disebut anggota yang paling produktif menulis buku, sehingga tak aneh dia menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Dua karya terbarunya Khutbah-khutbah Politik di Masa Orba dan Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2007). Fatwa memang rajin menuangkan ide orisinalnya jadi bukan sekedar kutipan atau tulisan di media massa dijadikan buku. Khusus perlawanannya terhadap rejim Soeharto digambarkan dalam Menggugat dari Balik Penjara (1999).

Yuddy Chrisnandy, tokoh muda Partai Golkar yang berniat menjadi capres menulis tesisnya dalam trilogi. Reformasi TNI, Hubungan Sipil dan Militer (2005), Kesaksian Para Jenderal (2006) keduanya diterbitkan LP3ES. Sementara Military Reform Post Soeharto Era (2007) diterbitkan NTU Singapura. “Disertasi saya dinilai penerbit bagus karena belum ada yang nulis secara akademis soal reformasi TNI. Apalagi saya melakukan wawancara ke lebih 26 jenderal. Buku pertama telah masuk cetakan kedua. Saya bahkan menerima bonus Rp 20 juta,” ujarnya. Menghangatnya isu capres belakangan ini, mendorong Yuddy merangkai kumpulan tulisan lewat Beyond Parliament (2008). “Sudah lama saya menulis di media tentang kepemimpinan pasca reformasi, hegemoni elit dan pentingnya pemimpin muda, jadi gak asal-asalan bikin buku,” tambah Yuddy.

Langkah Yuddy diikuti Aziz Syamsuddin. Wakil ketua Komisi III DPR ini mengangkat disertasi tentang perjudian menjadi buku Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian (2007).

Lain lagi, dengan politisi senior PDI Perjuangan, Sabam Sirait. Pria kelahiran 13 Oktober 1936 ini tidak tahu menahu kalau keluarganya termasuk anaknya Maruarar Sirait (anggota Fraksi PDIP) menyiapkan biografi Meniti Demokrasi Indonesia (2006). Buku ini dihadiahkan secara khusus saat merayakan ulang tahunnya ke-70 dalam suatu acara meriah dengan keynote speaker Megawati Soekarnoputri.

Pembahasan RUU pun bisa menjadi ide dasar. Otonomi khusus Aceh yang mendapat sorotan internasional menginspirasi Ferry Mursyidan Baldan, ketua pansus saat itu dan anggota DPR asal NAD Ahmad Farhan Hamid. Tak lama setelah pengesahan RUU dan penandatanganan MoU Helsinki, seolah berlomba hampir bersamaan Ferry dan Ahmad Farhan membukukan kronologis pembahasannya.

Bagaimana respon publik atas “hujan” peluncuran buku itu? Barangkali bicara sukses secara komersial justru dirasakan oleh mantan anggota DPR periode 1999-2004 Baharuddin Aritonang. Empat buku ditulisnya. Orang Batak Naik Haji (2002), Ketawa Ngakak di Senayan (2003), Dari Uang Rakyat Sampai Pasien Politik (2004), serta Orang Batak Berpuasa (2007) setelah dia bertugas sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BA, demikian Baharuddin disapa, bangga sebab tahun lalu dikabari oleh Ketua DPR Agung Laksono, buku Ketawa Ngakak disimpan di perpustakaan Capitol Hill untuk seksi Indonesia. “Padahal biasanya yang dipajang di library of congress Amerika Serikat itu bernada serius lo,” ujarnya tersenyum pekan lalu. Cerita-cerita para anggota saat di Senayan, ditulisnya secara jenaka namun orisinal. Buku itu telah dicetak ulang sampai empat kali. “Saya akan menulis lagi pengalaman di BPK,” janjinya.

Soal keraguan atas kualitas, Yuddy lebih suka berpikir positif tanpa lupa memberi saran. “Bikin buku itu bagus karena bisa menuangkan visi dan pengalaman aktivitas politik. Politisi jangan cuma ngomong, tapi harus bisa nulis. Tapi, tentunya buku ditulis sendiri ya. Bukan diorder ke orang lain penulisannya,” ujarnya.

Surip, penjual buku di Nusantara II Gedung DPR, mengakui menerima titipan buku-buku karya anggota dewan yang terhormat itu. “Gak bisa ditebak penjualannya. Pembeli kebanyakan tamu dari luar daerah yang datang ke paripurna. Buku Yuddy, Beyond Parliament laku. Sudah terjual 25. Mungkin karena baru launching atau karena dia mau capres ya,” kata Surip. Dia malah menegaskan buku terkait dengan Bung Karno yang dicari. Nah lo!.*[MO]

Sumber: http://newslinkweb.com/2008/11/17/trend-politisi-bikin-buku/

EDDIE WIDIONO DI BAWAH PUSARAN MEDIA


Judul: Eddie Widiono di Bawah Pusaran Media
Penulis: Qusyaini Hasan dll.
Penerbit: Nextmedia, Jakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 160 halaman

Sebagai arena publik, media massa seharusnya berfungsi memasok, memproduksi, dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan guna memfasilitasi pembentukan pendapat umum (opini publik) dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen. Namun, organisasi, modal, ideologi, maupun kultur yang dikembangkan memungkinkan institusi media tidak lagi menikmati kebebasan dan independensinya. Lebih dari itu, situasi ini memberikan ruang gerak baru bagi media untuk memunculkan orientasi, penyikapan, maupun ideologi sosial, ekonomi, maupun politik media yang direkonstruksikan melalui pemberitaannya.

Atas dasar itulah buku ini diterbitkan. Tidak hanya mendeteksi kecenderungan-kecenderungan sikap, orientasi, maupun ideologi pers, riset dalam buku ini juga mencoba menelisik lebih jauh bagaimana media melakukan penilaian, evaluasi, atau redefinisi terhadap fakta berita yang dibangun dalam suatu kemasan (pakage) sikap politik maupun ekonomi tertentu. Selain itu, riset juga menelusuri bagaimana media melakukan pemihakan dengan memberikan citra positif, penolakan dengan citra delegitimatif, maupun sikap netral akibat keberhati-hatikan dalam kebijakan redaksionalnya.

Lalu, mengapa sosok Dirut PLN dipentingkan dalam riset ini? Sebagai pejabat publik yang menangani persoalan kelistrikan nasional, sosok Eddie Widiono seringkali menjadi sorotan publik. Tak terbantahkan lagi, listrik yang menjadi hajat hidup rakyat banyak menempatkan Eddie Widiono sebagai orang nomor satu yang dapat dijadikan kambing hitam sekaligus muara persoalan jika kondisi kelistrikan nasional tidak memberikan kepuasan maksimal bagi seluruh rakyat. Sedikit saja terjadi sesuatu yang berkait dengan soal listrik, serta merta, namanya akan disebut-sebut. Apalagi saat terjadi kenaikan tarif dasar listrik, dia menjelma menjadi public enemy number one.

Penelitian ini mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; Bagaimana media massa memaknai dugaan korupsi yang melibatkan Eddie Widiono? Bagaimana pola maupun kecenderungan pemberitaan pers berkaitan dengan dugaan korupsi ini? Apakah media memperlihatkan orientasi politik maupun ekonomi yang berbeda terhadap fakta-fakta seputar kasus ini? Lebih dari itu, apakah media telah melakukan pencitraan tertentu terhadap sosok maupun figur Eddie Widiono, serta bagaimana melakukannya?

Selanjutnya, media massa cetak yang dijadikan subyek penelitian ini cukup beragam, baik dari segmentasi pembacara maupun produk jurnalistiknya, seperti berita dan tajuk rencana (editorial). Surat kabar/ koran yang terpilih antara lain Kompas, Rakyat Merdeka, Media Indonesia, Suara Pembaruan. Sedangkan majalah berita yang terpilih antara lain Tempo, Gatra, dan Trust.

Saturday, January 17, 2009

PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH


KOMPAS, Minggu, 14 September 2008

Diskursus Partai Lokal di Aceh

Judul : Partai Politik Lokal di Aceh, Desentralisasi Politik
dalam Negara Kebangsaan
Penulis : Ahmad Farhan Hamid
Editor : Saripudin HA

Penerbit : Kemitraan, Jakarta

Cetakan : I, Mei 2008

Tebal : 274 halaman


ISU partai politik (parpol) lokal di Aceh secara politis tertuang dalam lampiran Provisional Understanding yang ditandatangani­ Pemerintah RI dan wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Geneva, Swiss. Lampiran bertanggal 9 Januari 2001 itu menjadi dokumen pertama di Indonesia yang menyebut adanya calon nonpartai dan partai daerah atau parpol lokal yang dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan umum di Aceh.

Dalam perjalanannya, muncul kontroversi terhadap pembentukan parpol lokal yang dituntut oleh GAM tersebut. Sebagian berpendapat bahwa pembentukan parpol lokal di Aceh adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh.

Selain menyajikan format parpol lokal di Aceh, buku ini juga meng­uraikan sejarah dan perkembangan kepartaian di Indonesia sejak masa pendudukan Belanda dan Jepang hingga masa setelah reformasi. Penulis yang ter­catat sebagai konseptor awal UU Otonomi Khusus Aceh ini juga membahas sejarah dan perkembangan parpol lokal di beberapa negara, seperti Inggris, Spanyol, Finlandia, India, dan Malaysia. (TGH/Litbang Kompas)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/14/01154059/buku.baru

MEMBACA A.M. FATWA


Judul: Membaca A.M. Fatwa, Perubahan dan Konsistensi
Penulis: C.W. Watson, dll.
Editor: Saripudin HA & Nina Mardiana
Penerbit: Blantika (Mizan), 2008
Cetakan: I, 2008
Tebal: 171 halaman

Seorang tokoh adalah buku terbuka yang bisa dibaca siapa saja. Buku ini membuat tulisan Prof. C.W. Watson dari Inggris. Tulisan ini merupakan terjemahan Bab V bukunya, Of Self and Injustice: Autobiography and Repression in Modern Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2006), h. 103-132.

Selain itu, dimuat dua skripsi mahasiswa UIN Jakarta, Margono dan Muhajir Arif Rahmani. Masing-masing tentang pemikiran demokrasi religius serta pemikiran dan aktivitas dakwah A.M. Fatwa.

78 TAHUN PROBOSUTEDJO


Beritabaru.com, Selasa, 13/05/2008 11:17 WIB

Judul: 78 Tahun Probosutedjo, Bertani untuk Kesejahteraan Negeri
Penulis: Qusyaini Hasan, dll.
Penerbit: Perpadi, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: 127 halaman

Probosutedjo: “Meningkatkan Hasil Pertanian itu Gampang!

Keluar dari LP Sukamiskin, Bandung, pada 12 Maret 2008 dengan status ”orang merdeka”, Probosutejo – adik tiri almarhum mantan Presiden Soeharto itu – bertekad menerjunkan diri di bidang pertanian. Fokus perhatiannya jelas: menggenjot produksi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan para petani miskin.

Melalui PT Tedja Kencana Tani Makmur, perusahaan miliknya, Probo serius terjun di bisnis padi organik – jenis tanaman padi yang diproduksi tanpa menggunakan bahan kimia – dan menjalin kemitraan dengan para petani melalui pola yang, menurutnya, saling menguntungkan.

"Saya baru enam bulan memulainya," katanya saat panen perdana padi organik di Karawang, Jawa Barat, Maret silam. Produksi padi organik olahannya bisa mencapai lebih dari 10 ton gabah kering panen (GKP). Padahal, rata-rata produksi di Karawang saat itu hanya 6,2 ton.

Maka, lahirlah apa yang disebut ”Metode Probosutedjo” (Metpro), sebuah program peningkatan produksi pertanian dengan cara pengembangan padi organik khusus benih unggul Indonesia.


Metode itu pula yang kemudian ia rumuskan dan tuangkan dalam sebuah buku berjudul Bertani untuk Kesejahteraan Negeri, yang diluncurkan di Kabupaten Sumedang, tepat di ultahnya ke 78, 1 Mei lalu.

Sumber: http://www.beritabaru.com/special.php?id=839.

JALAN DAMAI NANGGROE ENDATU


Sinar Harapan, 10 Februari 2007

Jalan Damai dalam Catatan Tokoh Aceh
Oleh: Emmy Kuswandari


Judul Buku: Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh
Penulis: Ahmad Farhan Hamid

Editor : Saripudin HA

Penerbit : Suara Bebas

Cetakan: I, Desember 2006

Halaman: 535 Halaman



Damai itu harapan, karena itu ia harus terus diperjuangkan. Keyakinan inilah yang mendasari setiap langkah Ahmad Farhan Hamid, seorang wakil rakyat dari Aceh dari hari ke hari.


Jauh sebelum ia duduk sebagai anggota parlemen. Luka batin akibat konflik berkepanjangan, meyakinkan dirinya untuk mewujudkan damai di bumi kelahirannya ini.


Konflik, perang, ketegangan dan situasi panas memang diakrabi rakyat Aceh sejak zaman penjajahan dulu. Ketegangan datang dan pergi hingga ditandatangani kesepakatan damai pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 lalu.


Semua pihak berharap, penandatanganan perjanjian damai tersebut akan menjadi embrio perdamaian kekal di Tanah Rencong.


Farhan Hamid mengatakan, konflik Aceh dengan pemerintah pusat ini sudah menyentuhnya sejak kecil. Oleh kedua orang tuanya, yang berjuang bersama Tgk Dawud Beureueh, Farhan kecil pun dibawa keluar masuk hutan. Bahkan ia pernah nyaris meninggal kala itu.


Konflik tak kunjung reda. Kecurigaan pemerintah selalu berlebih. Tempat tinggalnya pun tak luput menjadi sasaran. Rumahnya dibakar. “Konflik ini tidak hanya menyentuh kulit saya, tetapi juga jiwa dan kesadaran saya selama ini,” ujar Farhan.


Aceh yang aman dan damai memang menjadi impiannya. Tak pelak, ketika ia menjawab sebagai anggota DPR pun, selalu saja imbauan agar elemen-elemen radikal di Aceh yang bersama GAM dan juga pemerintah bersikap bijaksana untuk menyelesaikan masalah Aceh.


Jalan damai itu ternyata berliku. Nyawa hilang tak terbilang dari kekerasan dan ketegangan yang muncul antara GAM dan Pemerintah RI. Belum lagi dampak psikologis yang akan mempengaruhi satu generasi.


Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913. Catatan ini masih diperpanjang dengan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.


Psikologi yang Tidak Terungkap
Jalan panjang Aceh sudah diulas banyak media, tetapi ada yang menarik dari buku Jalan Damai Nanggroe Endatu ini. Sejak pembahasan Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh di DPR, ia rajin menorehkan catatanya.

Hari demi hari, waktu demi waktu, meski kadang hanya satu dua paragraf, tetapi Farhan membuat catatan, bagaimana proses RUU PA berjalan. Ketidaksukaan, tudingan miring, ketidakpercayaan dari satu pihak, diskusinya dengan banyak kelompok tentang masa depan Aceh, mewarnai catatan panjang Farhan.


Rapat intern Pansus menetapkan jadwal kerja dan mekanisme pembahasan di ruang Pansus D. Alot juga suasana rapat kali ini. FPDIP mengeluarkan jurus: semua bicara. Ada enam orang yang bicara, malah ada yang dua kali. Suasana rapat memberikan gambaran bahwa Pansus ini akan alot, banyak intrik politik, dan ambil perhatian. Dalam hati saya sempat bertanya-tanya, mungkinkah Aceh akan menjadi “korban” politik lagi. Tulis Farhan Kamis 23 Februari 2006 lalu.


Di kesempatan lain ia mencatat, “......para purnawirawan itu sangat keras menolak MoU, menyebut GAM menipu pemerintah. Mereka memang konservatif, amandeman UUD 1945 juga mereka tolak. Mereka saat ini seperti hidup di zaman yang salah, walau mereka tidak boleh disalahkan. (Rabu 1 Maret 2006).


Farhan mencatat banyak hal. Dari yang sederhana hingga pemikirannya yang serius. Bagaimana orang menanggapi RUU PA, bagaimana media memberikan ruang dan tempat untuk aturan tersebut.


Tulisan itu dibuatnya hampir tiap hari. Bagaimana rapat berjalan, bagaimana pertentangan muncul, juga perjalannya ke Swedia untuk merajut proses damai ini bersama dengan pemangku kepentingan yang lain.


Pada hari Jumat 2 Juni 2006, Farhan kembali menulis. Sebuah harian memuat berita yang menurutnya menyakitkan hati Panitia Kerja. Berita tersebut menulis anggota DPR tidak mempunyai sense of crisis karena rapat di hotel mewah. Juga adanya tuduhan rapat panja tertutup karena ada substansi RUU PA yang didagangsapikan.


Jalan Damai Nanggroe Endatu menarik untuk dibaca. Dari kertas yang berserak di meja kerjanya, Farhan cukup jeli dan teliti untuk mengisahkan kembali jalan panjang perdamaian tersebut.


Yang tidak ditemukan di buku lain adalah catatan harian yang dibuatnya sepanjang tahun ketika proses RUU PA dibuat. Buku ini di satu sisi menjadi bentuk pertanggungjawaban dirinya sebagai wakil rakyat.


UU PA memang menjadi jembatan emas menuju Aceh baru. Tetapi jembatan ini harus dilewati dengan rasa percaya dan kerjasama berbagai pihak untuk menjaga damai pascakonflik.


Kesepakatan damai mesti dikawal dengan upaya membangun kepercayaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh.


Implementasi adalah pertaruhan apakah satu pihak berani memercayai pihak lain yang selama ini menjadi lawannya.
n

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0702/10/opi05.html

MENGHADIRKAN MODERATISME MELAWAN TERORISME


Judul: Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Saripudin HA
Penerbit: Blantika (PT Mizan Publika), Jakarta
Cetakan: I, September 2006 & II, Nopember 2007
Tebal: 164 halaman


Andi Mappetahang (AM) Fatwa meluncurkan dua bukunya: "Khutbah-Khutbah Politik AM Fatwa di Masa Orde Baru" dan "Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme", Senin (21/5) di Gedung DPR/MPR, Jakarta.

Buku mengenai khotbah politik diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah Yogyakarta, sedangkan mengenai moderatisme melawan terorisme diterbitkan penerbit Mizan. Dalam buku mengenai khotbah politiknya, Fatwa memuat khotbah Idul Fitri pada 1979 tentang pemimpin umat dan khotbah tahun 1980 tentang Pancasila.

Dalam peluncuran kedua bukunya, Fatwa mengundang pembahas, antara lain Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketua MK Jimly Assiddiqie, anggota Komisi I DPR Slamet Effendi Yusuf, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat dan Ketua Umum PP muhammadiyah Din Syamsudidin.

Kedua buku terbit di tengah kesibukan Fatwa menjadi Wakil Ketua MPR yang juga anggota Komisi I DPR. Fatwa termasuk anggota DPR/MPR paling produktif menerbitkan buku. Di era Akbar Tandjung memimpin DPR, Fatwa berhasil menerbitkan 14 buku sekaligus memeproleh penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).

Kini di separuh perjalanan menjadi anggota DPR di era Ketua DPR Agung Laksono, Fatwa sudah menambah deret jumlah buku yang diterbitkan sekaligus tercatat sebagai politisi paling produktif menerbitkan buku.

Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2007/5/20/fatwa-bukukan-khotbah-politik-selama-orde-baru/

PEREMPUAN, CATATAN SEPANJANG JALAN


Judul: Perempuan, Catatan Sepanjang Jalan
Penulis: Zahara D. Noer
Editor: Saripudin HA
Penerbit: Yayasan Risalah, Jakarta

Cetakan: I, 2005
Tebal: xii + 610 halaman


Buku ini berisi kisah masa kecilnya di Sumatera Utara pada masa perang kemerdekaan, kuliah di UGM, penelitian tentang Islam di Sumatera Barat, studi s2 di Amerika Serikat, kehidupannya bersama suami (Prof. Deliar Noer), hijrahnya ke Australia, hingga kepemimpinannya selama dua periode di Wanita Islam.

Buku otobiografi Zahara D. Noer ini kaya dengan detail peristiwa. Sebagai seorang antropolog, penulis sangat kuat dalam menguraikan peristiwa atau obyek.

KNIP PARLEMEN INDONESIA 1945-1950

Judul: KNIP, Parlemen Indonesia 1945-1950
Penulis: Deliar Noer & Akbarsyah
Editor: Saripudin HA
Penerbit: Yayasan Risalah, Jakarta

Cetakan: I, 2005
Tebal: x + 412 halaman



Buku KNIP membahas kedudukan dan peranan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), parlemen pertama Indonesia merdeka, 1945-1950. Buku ini merupakan bagian dari hasil penelitian tentang "Peranan dan Kedudukan Parlemen di Indonesia 1945-1985, yang dilakukan Prof. Deliar Noer bersama sejumlah peneliti muda FISIP UI (saat itu) seperti Akbarsyah, Arbi Sanit, dan Zulfikar Ghazali,
sejak tahun 1986 hingga sekitar tahun 1990.

Buku ini dimulai dengan catatan atas perkembangan ide para founding fathers mengenai parlemen dalam struktur negara Indonesia, untuk selanjutnya menguraikan praktek ide itu dalam lingkungan sosial politik setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia mengisahkan dan menganalisa dinamika internal KNIP, baik seputar masalah-masalah kelembagaannya maupun sikap anggotanya terhadap perkembangan kehidupan kebangsaan, tetapi juga menuturkan bagaimana perkembangan eksternal di luar KNIP, seperti kebijakan-kebijakan pemerintah Sjahrir dan Bung Hatta serta langkah politik Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan, berpengaruh terhadap kinerja dan format KNIP sebagai lembaga perwakilan.

Kesimpulan studi ini menyatakan bahwa cara kerja KNIP—yang tidak disertai dengan pemilihan umum itu—bagai lebih berbobot dibandingkan dengan cara kerja DPR dan MPR di tahun-tahun Demokrasi Terpimpin dan di masa Orde Baru—walaupun yang akhir ini disertai dengan pemilihan umum.

(Sayang, hingga Prof. Deliar Noer meninggal dunia pada 18 Juni 2008, hasil penelitian lainnya belum sempat diterbitkan).

BEGAWAN POLITIK, DELIAR NOER 75 TAHUN


Memotret Begawan Politik Indonesia

Judul: Begawan Politik, Deliar Noer 75 Tahun
Penerbit: Panitia Penerbitan Buku 75 Tahun Prof. Dr. Deliar Noer, Jakarta
Editor:
Saripudin HA
Cetakan: I, 2001
Tebal: xii + 356 halaman


Buku Begawan Politik adalah persembahan atas 75 tahun usia Prof. Dr. Deliar Noer. Buku ini seolah menyempurnakan buku Aku Bagian Umat Aku Bagian Bangsa (Mizan, Bandung, 2006). Jika Aku Bagian Umat Aku Bagian Bangsa berbicara dengan bahasa Deliar sendiri, maka buku ini berbicara tentang doktor ilmu politik pertama di Indonesia ini dengan bahasa dan bacaan orang lain, tokoh lain, atas pemikiran dan perjalanan hidup pribadi dan sosial Deliar Noer.

Bukan saja tokoh dekat yang menulis, seperti George McT. Kahin, Ali Sadikin, H.M. Sanusi, Meutia Hatta-Swasono, tetapi juga tokoh yang mengambil jalan lain, seperti A. Dahlan Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, dan Amien Rais. Di antara penulis lainnya adalah Miriam Budiardjo, Azyumardi Azra, dan Salahudin Wahid.

Sebelum tulisan para kontributor itu, dimuat suatu dua bagian, yaitu (1) tulisan dan wawancara Deliar Noer mengenai reformasi, dan (2) liputan berita pers terhadap kegiatan Deliar. Di bagian Lampiran dilengkapi pula dengan berita-berita terkait reformasi politik di Indonesia.

PENGADILAN HAM AD HOC TANJUNG PRIOK


Kompas, Jumat, 15 Juli 2005
Korban Harus Direhabilitasi

Judul: Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan & Saripudin HA
Penerbit: Dharmapena Publishing, Jakarta
Cetakan: I, 2005


Mantan narapidana politik zaman Orde Baru, AM Fatwa, Kamis (14/7) malam meluncurkan bukunya yang ke-18 berjudul Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional terbitan Dharmapena Publishing. Menurut Fatwa, semua kasus pelanggaran hak asasi manusia harus diproses demi keadilan hukum, tetapi semuanya juga harus berujung damai dan saling memaafkan.

Walaupun untuk kepentingan sejarah, haruslah dicatat dan tidak boleh dilupakan sebagai pelajaran bagi generasi yang akan datang, kata Wakil Ketua MPR tersebut ketika menyampaikan sambutan peluncuran bukunya yang meriah itu.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As'at Said.

Fatwa mengatakan kekecewaannya karena peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 walaupun berhasil di bawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc baru-baru ini membebaskan seluruh terdakwa.

Fatwa yang diganjar 18 tahun penjara dan menjalani hukuman sembilan tahun itu menyebut peristiwa Tanjung Priok sebagai "�skenario politik intelijen rezim Orde Baru"�.

Beberapa bulan sebelum peristiwa itu, tepatnya 26 Juli 1984, Fatwa diundang Wakil Gubernur DKI Jakarta Mayjen Edi Nalapraya yang sebelumnya lama menjadi Asisten Intel Laksusda Jaya. Kepada Fatwa, Edi mengatakan, Bahwa intelijen berkesimpulan karena sekian lama Saudara ditekan dan diteror dengan berbagai cara, tapi Saudara tidak bisa berubah, maka terpaksa Saudara akan diselesaikan secara hukum...

Sejak itu hari-hari Fatwa senantiasa ditemani oleh seseorang yang belajar berdakwah kepadanya. Orang itu bahkan mengontrak rumah dekat rumahnya. Namun, belakangan diketahui orang tersebut adalah agan intelijen yang ditugaskan untuk mengikuti Fatwa.

Fatwa menegaskan, walaupun gigih memperjuangkan keadilan hukum dalam kasus itu, secara pribadi ia tidak menyimpan dendam terhadap pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu seperti Try Sutrisno, Benny Moerdani, bahkan Soeharto.

Fatwa mendesak Jaksa Agung untuk memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban Tanjung Priok. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan terbentuk juga harus mengagendakan kasus ini, katanya. (BUR)

CATATAN DARI SENAYAN


Suara Merdeka, Senin, 1 Maret 2004
AM Fatwa Terbitkan Memori Akhir Tugas di Senayan

Judul: Catatan dari Senayan:
Memori Akhir Tugas di Legislatif 1999-2004
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan & Saripudin HA
Penerbit: Intrans, Jakarta
Cetakan: I, 2004

Tebal: 238 halaman


Wakil Ketua DPR Andi Mapetahang (AM) Fatwa menerbitkan buku
Catatan dari Senayan sebagai memori mengakhiri tugas selama lima tahun sejak 1999 di parlemen.

Peluncuran buku dilakukan di Depok, Jawa Barat, Minggu, yang dihadiri Duta Besar Malaysia Dato Hamidhon Ali, Mensos Bachtiar Chamzah, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid, Ketua Panwas Pemilu Komaruddin Hidayat, Wakil Ketua MPR Posma L Tobing, serta sejumlah anggota Fraksi Reformasi DPR dan MPR.

Fatwa menyatakan, bersyukur dapat menyelesaikan buku tersebut sebelum masa jabatannya berakhir sekitar satu bulan lagi. Buku ini juga diselesaikan di tengah kesibukannya sebagai Wakil Ketua DPR serta kesibukannya melakukan kunjungan ke berbagai daerah dan luar negeri.


Kesibukannya juga terasa luar biasa akhir-akhir ini, mengingat posisinya sebagai salah satu ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) untuk mempersiapkan partai mengikuti Pemilu 2004.


Buku setebal 238 halaman yang diterbitkan Institue for Transformation Studies (Intrans) dengan judul lengkap Catatan dari Senayan, Memori Akhir Tugas di Legislatif 1999-2004 merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya, Dari Cipinang ke Senayan.


Fatwa yang telah menerbitkan belasan buku termasuk tentang pengalamannya hidup di penjara mengatakan, kedua buku tersebut merupakan pertanggungjawaban politik, moral, dan operasional kepada konstituen serta kepada publik dalam melaksanakan amanat sebagai anggota parlemen.


Buku Catatan dari Senayan terdiri atas enam bab yang diawali dengan pengalaman dan kisah-kisah di balik amandemen UUD 1945, pembahasan berbagai RUU terutama RUU tentang BUMN, penyiaran, sisdiknas, ketenagalistrikan, RUU tentang panas bumi, sumber daya air (SDA) serta UU tentang Pemilu 2004.


Fatwa juga menyoroti dan mengkritisi privatisasi aset-aset negara dan belitan IMF terhadap Indonesia. Di samping itu, dia juga menyoroti Pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya dimiliki Malaysia.


Bahasan lainnya mengenai penegakan hukum dan HAM, persoalan terorisme, proses pengadilan kasus Tanjung Priok, kemelut di PT DI, laporan BPK yang tidak ditindaklanjuti, dan korupsi Pertamina.
(ant-78t)

Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0403/01/nas12.htm

DARI CIPINANG KE SENAYAN


Gatra.com, Jakarta, 31 Juli 2003 18:32
Amien Luncurkan Buku Fatwa, Dari Cipinang ke Senayan

Judul: Dari Cipinang ke Senayan: Catatan Gerakan Reformasi dan Aktivitas Legislatif hingga ST MPR 2002
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan, Saripudin HA & Viva Yoga Mauladi
Penerbit: Institute for Transformation Studies, Jakarta
Cetakan: I, 2003
Tebal: 363 halaman


Ketua MPR RI Amien Rais di Jakarta, Kamis, meluncurkan buku AM Fatwa berjudul "Dari Cipinang ke Senayan" yang merupakan catatan gerakan Reformasi dan aktivitas Legislatif hingga Sidang Tahunan (ST) MPR 2002.

Amien mengatakan, Fatwa adalah tokoh yang konsekuen dan konsisten pada perjuangannya, sehingga pada era Reformasi ia berhasil menjadi Wakil Ketua DPR.

"Suatu hal yang membuat saya terkesan, setelah terpilih menjadi Wakil Ketua DPR, saudara Fatwa menunjukkan sikap syukur yang luar biasa," kata Amien Rais mengomentari perjuangan hidup AM Fatwa yang sempat membawanya ke penjara semasa era Orde Baru.

Amien menilai, buku Fatwa bukan sekadar dokumen sejarah atas berbagai peristiwa sosial politik yang dialami, namun juga dapat dilihat sebagai progress report dari seorang wakil rakyat selama pengabdiannya di lembaga legislatif.

Amien yang juga ketua umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) --AM Fatwa juga sebagai salah seorang ketuanya-- menyatakan buku ini tidak dimaksudkan untuk mengungkit masa lalu sehingga menimbulkan dendam.

"Kita harus berpikir ke depan, menata sistem politik yang demokratis untuk menumbuhkan masyarakat madani," ucapnya.

Selain Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tandjung juga memberikan sambutannya. Akbar menyatakan buku Fatwa akan memperkaya dan melengkapi perspektif terhadap peristiwa- peristiwa dan momentum-momentum sosial politik yang pernah dialami AM Fatwa.

AM Fatwa lahir di Mare, Bone, Sulawesi Selatan 12 Februari 1939. Ia merupakan salah seorang perintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN Jakarta.

Fatwa divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Desember 1985, atas dakwaan melakukan subversi dengan menerbitkan "Lembaran Putih" Peristiwa Tanjung Priok.

"Walaupun penjara bukan tempat yang asing bagi saya, setidaknya saya pernah ditahan selama enam bulan di tahun 1963/64 dan sembilan bulan di tahun 1978 dan berkali-kali keluar masuk tahanan karena aktivitas politik yang saya lakukan," kata Fatwa.

Acara peluncuran buku di hotel bintang lima ini juga dihadiri Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Wakil Ketua MPR Slamet Surpijadi (F-TNI/Polri), Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, tokoh PDIP Sabam Sirait, Sophan Sophiaan, para mantan penasihat hukumnya serta beberapa dubes dari negara sahabat. [Tma, Ant]

TOMMY WINATA DALAM CITRA MEDIA

SINAR HARAPAN, 22 November 2003

Mengurai Wacana tentang Berita Tomy Winata
Oleh: M. Latief


Judul buku : Tomy Winata dalam Citra Media: Analisis Berita Pers Indonesia
Penulis : Saripudin HA & Qusyaini Hasan
Penerbit : Jasa Riset Indonesia (jAri)

Cetakan : I, Oktober 2003
Tebal: xii + 190 halaman


Kiranya, citra Tomy Winata (TW) betul-betul sudah terpuruk dan mati di tangan para kuli tinta. Bisa dikatakan, pencitraan tersebut sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum meletusnya peristiwa unjuk rasa karyawan keamanan Artha Graha, Banteng Muda Indonesia (BMI), serta Forum Pemuda Peduli Pers (FPPP) ke kantor majalah Tempo pada 8 Maret 2003 yang menghebohkan itu.

Nyatanya, memang demikian. Dalam kurun waktu Februari 1999 hingga Maret 2003 silam, hampir semua media mengangkat isu seputar Tomy Winata dengan framing yang delegitimatif terhadap sosok pengusaha ini.

Pascareformasi, Tomy, - yang melakukan kerja sama bisnis dengan Yayasan Eka Paksi (YEKP) milik Angkatan Darat, - ini dilegitimasi melalui citra buruk ABRI dan bisnis militernya selama Orde Baru, kabar tentang adanya jaringan mafia Gang of Nine atau Sembilan Naga, serta beberapa konflik hukumnya dengan sejumlah pengusaha.

Sedikit banyak, ini membuktikan, bahwa media turut andil dalam merangkai ingatan masyarakat tentang citra Tomy sebagai pengusaha yang amat dekat dengan pajabat militer dan polisi.

Sampai-sampai, media massa pun punya julukan tersendiri untuknya, yakni Tomy Winata sebagai the godfather mafia yang menjalankan bisnis haram, mulai dari perjudian, narkoba, hingga penyelundupan. Dan dalam pandangan media itu, dengan kekuatan senjata dan ditamengi preman-preman, apapun bisa dilakukan Tomy di negeri ini, tak terkecuali jalan bisnisnya. Ia bahkan tak akan tersentuh kaki tangan hukum dan akan selalu lolos dari jeratnya.

Walhasil, setelah unjuk rasa pada 8 Maret 2003 di kantor Tempo itu, Tomy secara resmi telah menjadi musuh media, yang akhirnya ditarik menjadi musuh publik. Sementara itu, kalangan jurnalis yang ditengarai oleh Goenawan Muhammad, Fikri Jufri, Todung Mulya Lubis, dan Harry Tjan Silalahi sendiri pun mendelegitimasikan citra Tomy itu dengan membangun gerakan wartawan melawan premanisme atau gerakan antipremanisme.

Melihat ini, ada dugaan, bahwa sebagian besar masyarakat kita hingga sekarang masih menerima secara pasif semua berita yang disiarkan media massa. Jika betul begitu, tentu saja ini cukup merisaukan. Apalagi, sekarang ini bertebaran berita di mana para wartawan penulisnya tak sekadar hanya sebagai pengamat, melainkan juga subyek yang tak terpisahkan dari realitas sosial yang diberitakannya. Mau tak mau, masyarakat perlu meluangkan waktunya untuk berhati-hati menyikapi tiap berita yang disajikan media.

Di sisi lain, sejatinya, sebuah media tetap menganggap khalayak sebagai pembaca yang kritis. Sebab, bukan tidak mungkin, pembaca tak mudah begitu saja menerima fakta yang disajikan media. Dan, belum tentu pembaca akan selalu menyimpulkan fakta yang sampai ke tangannya itu sesuai dengan kehendak wartawan penulis tersebut. Boleh jadi, pembaca sendiri sudah memiliki pertimbangan lain dalam menyikapi berita yang disiarkan media itu.

Artinya, para pengelola media, termasuk wartawannya sendiri perlu membayangkan, bahwa khalayak persnya adalah pembaca berita yang kritis. Karena kenyataannya, demontrasi massa yang terjadi di kantor Tempo pada 3 Maret 2003 lalu itu bukanlah aksi pertama yang menimpa media massa di Indonesia.

Kasus yang menimpa tabloid Monitor pada 1990 itu, misalnya. Protes khalayak menimpa kalangan redaksinya, kantornya diobrak-abrik dan pemimpin redaksinya dituntut untuk diadili. Tiga tahun berikutnya, giliran Tempo didemo oleh sejumlah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam kasus konflik Tempo-Bursah Zarnubi.

Tepat setahun berikutnya, -pada 1994, Republika juga mengalami hal serupa. Koran tersebut didemo mahasiswa yang tergabung dalam Komite Antifitnah. Pada periode setelah reformasi 1998, - tepatnya pada 2000, nasib sama dialami kantor harian Jawa Post di Jawa Timur yang diduduki GP Anshor.

Menilik berbagai kasus di atas, di mana pembaca melakukan unjuk rasa terhadap institusi pers dapat diartikan sebagai ketidakmampuan pers membayangkan khalayaknya sebagai pemaca yang kritis. Sebaliknya, jika para wartawan bisa membayangkan khalayaknya adalah pembaca yang kritis, pilihan faktanya akan disenangi pembaca. Dan bukan tak mungkin, beritanya akan senantiasa ditunggu-tunggu.

Maka, atas dasar itulah kiranya Saripuddin H. A dan Qusyaini Hasan yang merupakan dua aktivis Jasa Riset Indoensia (jAri) itu menuliskan buku Tomy Winata dalam Citra Media - Analisis Berita Pers Indonesia. Namun, mengapa keduanya ”berani” memilih Tomy Winata sebagai objek penelitiannya kali ini? Sulit terbantahkan, bahwa Tomy Winata atau TW memang sosok fenomenal yang acap kali menjadi sasaran empuk media massa. Tentunya, warna-warni pemberitaan seputar dirinya menjadi begitu menarik untuk diselidiki.

Paradigma yang dipergunakan dalam studi kali ini bukanlah paradigma kritikal yang dipergunakan dalam melihat teks, dan bukan pula konstruktivis murni. Tetapi dengan menggunkana analisis framing Robert M. Entman, studi ini berusaha menggambungkan paradigma klasik yang melihat teks media sebagai realitas sesungguhnya dengan paradigma konstruktivis yang melihat teks media sebagai bentukan jurnalis media bersangkutan. Alhasil, kritik terhadap jurnalisme media yang dianalisis dilakukan sedikit mungkin, sedangkan kritik terhadap fakta yang dimuat dilakukan secara tidak langsung, - catatan kaki.

Pendangan resmi media seputar Tomy Winata dalam surat kabar harian atau koran tentu termuat dalam tajuk rencana atau editorial, sehingga inilah yang menjadi obyek studi. Artikel-artikel berita di koran tersebut tidak dijadikan obyek analisis lantaran tak dapat dinyatakan sebagai sikap atau opini resmi redaksi, disebabkan rentan dipengaruhi kinerja dan pengetahuan wartawan peliput atau penulisnya dalam memindahkan inti berita yang dinyatakan oleh suatu kejadian atau sumber berita.

Karena majalah tak memunyai tajuk rencana atau editorial, maka berita dalam laporan utamalah yang menjadi obyek studi. Pemilihan ini dilakukan, selain karena kebiasaan dalam analisis framing di Indonesia sebagaimana dimuat dalam majalah Pantau, juga dengan pertimbangan bahwa artikel-artikel dalam laporan utama adalah kesatuan yang terintregasi, bukan sebagai produksi satu dua jurnalis di suatu media majalah. Laporan utama meruapakan produk bersama yang lahir di meja rapat redaksi.

Jadi diandaikan saja, tidak akan ada artikel yang kontradiktif (legitimatif dan delegitimatif terhadap citra atau profil seseorang) dalam sebuah laporan utama.

Dalam studi ini, benang merah antara artikel laporan utama itulah yang coba dilihat dengan analisis framing Entman tadi. Karena Bab 4 dan Bab 5 tentang laporan utama majalah sebelum unjuk rasa 8 Maret 2003 itu dibedah dengan framing Entman, maka Bab 6 tentang tajuk rencana atau editorial koran dibedah dengan analisis yang kualitatif-simbolik.

Cukup menarik, sebab dengan begitu pembaca bisa akan ikut mengeksplorasi teks secara lebih bebas. Dengan membaca Bab 4 dan Bab 5 sebelumnya, plus, analisis yang terurai di Bab 6 buku ini, sebenarnya telah dibuat untuk memudahkan pembaca menyimpulkan sendiri framing tajuk rencana atau editorial dari perangkat framing Entman.

Sebetulnya, kemudahan-kemudahan atau kekurangketatan metodologis itu dipilih untuk membantu memudahkan pembaca yang tidak bisa membaca analisis media. Bagi yang biasa membaca analisis media pun, pisau analisis yang digunakan dalam studi ini relatif tidak asing, sebab sering ditemui dalam analisis-analisis yang dimuat oleh Pantau, majalah kajian media dan jurnalisme yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Tak lebih, studi dalam buku ini memang ingin menjawab soalan, bagaimana media melakukan pencitraan. Dan tentu saja, bagaimana media menghimpun, memilih, dan menuliskan fakta, melakukan politisasi bahasa, memberi label atau stigma tertentu pada sosok yang diberitakan. Namun, apakah buku ini bisa sedikit dijadikan sebagai wadah pembelajaran yang diharapkan bisa memperkuat kehidupan pers dan memperbaiki kondisi jurnalisme Indonesia? Semoga saja.

Lihat dalam: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0311/22/opi04.html

SOEYONO: BUKAN PUNTUNG ROKOK

Sinar Harapan, 14 Maret 2003

Buku Soeyono "Bukan Puntung Rokok"
Kasus 27 Juli, Puncak Pertarungan Dua Srikandi

Judul: Soeyono: Bukan Puntung Rokok
Penulis: Benny S. Butarbutar
Editor: Qusyaini Hasan
Penerbit: Ridma Foundatio, Jakarta
Cetakan: I, 2003
Tebal: 334 halaman

JAKARTA — Misteri kasus 27 Juli 1996 makin terkuak ketika para pelaku yang terkait dengan insiden pengambilalihan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat yang berlanjut dengan kerusuhan dan pembakaran, mulai berani angkat bicara. Mantan Kepala Staf Umum (Kasum) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Letjen (Purn) Soeyono yang dicopot dari jabatannya akibat kasus tersebut, menulis sebuah biografi yang intinya menjelaskan bahwa kasus 27 Juli adalah blunder politik Orde Baru.

Dalam buku berjudul ”Bukan Puntung Rokok” yang diluncurkan berbarengan dengan hari jadinya yang ke-60 di Jakarta, Kamis (13/3) malam, Soeyono mengungkapkan bahwa kasus 27 Juli merupakan puncak pertarungan dua srikandi dalam panggung politik Indonesia. Sekiranya tidak ada peristiwa 27 Juli 1996, mustahil Megawati Soekarnoputri bisa populer dan menjadi presiden seperti sekarang ini.

"Alih-alih menggembosi Megawati dan mengorbitkan Tutut (Siti Hardiyanti Indra Rukmana -- putri mantan Presiden Soeharto-red) pengambilalihan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro merupakan blunder politik Orde Baru sebagaimana kasus penembakan tokoh oposisi Benigno Aquino pada tahun 1983 yang akhirnya mendudukkan sang ibu rumah tangga, Corazon Aquino menjadi Presiden Filipina,” tegas Soeyono dalam buku setebal 350 halaman itu.

Buku yang ditulis oleh Benny S. Butarbutar, Akhmad Kusaeni dan Budi Rahardjo itu dibedah oleh pengamat politik dari Centre for Strategis and International Studies (CSIS) J. Kristiadi dan pengamat ekonomi Rizal Ramli, serta dihadiri para jenderal angkatan AMN 1965 yang adalah teman-teman seangkatan Soeyono.

Dua srikandi ”kembar” tersebut adalah Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut) dari Golkar dan Megawati Soekarnoputri dari PDI. Pada akhir Desember 1993, kedua srikandi Indonesia itu bertemu muka di kediaman Tutut di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tutut ketika itu belum genap dua bulan menjadi salah satu Ketua Golkar, sementara Megawati baru saja meraih ”pengakuan publik” sebagai Ketua Umum PDI.

Dua Mawar Mekar
Setelah pertemuan itu, kedua srikandi itu bersaing dan saling berebut pengaruh. Inilah yang mengakibatkan pejabat pemerintah dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terlibat dalam intrik-intrik pro dan kontra serta friksi-friksi yang tajam. Secara moral, ketika itu Megawati jelas lebih unggul. Tetapi politik kekuasaan lebih banyak berpihak kepada Tutut.

"Yang pasti, tidak mungkin bila ada dua mawar yang mekar bersamaan. Tidak boleh ada dua srikandi yang mentas bersamaan di panggung politik Indonesia,” kata Soeyono.

Pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996, menurut Soeyono, merupakan klimaks dari upaya menggembosi pamor Megawati dan menaikkan popularitas Tutut. Sejumlah pejabat tinggi militer jelas terlibat dalam kasus ini. Mereka ini, menurut istilah mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Syamsir Siregar, berlomba-lomba mau mendekati Cendana supaya dapat jabatan, baik itu melalui Pak Hartonya langsung, maupun melalui anak-anaknya, khususnya Tutut yang waktu itu sangat besar pengaruhnya di Cendana.

Menurut Syamsir dalam buku tersebut, sejumlah perwira tinggi dan menengah ABRI saling sikut untuk mendapat pengaruh di Cendana. Soeyono, mantan ajudan (ADC) Presiden Soeharto selama sekitar empat tahun yang dekat dengan keluarga Soeharto kecuali dengan Prabowo (menantu Soeharto) itu, menjadi sasaran untuk disingkirkan. Soeyono dan sejumlah perwira angkatan AMN 1965 dianggap sebagai penghalang.

Dalam upaya menggalang pengaruh terhadap Soeharto dan anak-anak keluarga Cendana, khususnya Tutut yang menjadi Ketua Golkar, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) R. Hartono habis-habisan mendukung Golkar. Dalam kesempatan mendampingi kunjungan kerja ke daerah-daerah, Hartono tidak segan-segan mengenakan jaket kuning.

Orang tak bisa melupakan bagaimana seorang jenderal bintang empat mengenakan jaket kuning Golkar dan dengan gagah berani mengatakan bahwa ABRI adalah kadernya Golkar. Suatu pernyataan, yang menurut J. Kristiadi, sangat merendahkan martabat ABRI pada waktu itu.

Bahkan kabarnya Hartono memerintahkan agar semua Pangdam sampai Danrem setelah apel pagi mengenakan jaket Golkar. Semua perilaku politik Hartono ini tidak lepas dari ambisinya untuk menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal Feisal Tanjung.

Kerusuhan massa sebagai akibat pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996 yang menewaskan sedikitnya lima orang dan 149 luka-luka itu memang terkait dengan masalah Megawati yang sedang naik popularitasnya dan Mbak Tutut yang juga sedang diusung popularitasnya, antara lain oleh Hartono dan kawan-kawannya.

Operasi Naga Merah
Keberadaan Megawati sebagai Ketua Umum PDI, seperti dikemukakan oleh pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, membuat gerah Soeharto yang waktu itu menunjukkan gejala-gejala ingin mengorbitkan Tutut sebagai putera mahkota melalui jalur Golkar.

Soeharto khawatir popularitas Megawati akan menggoyahkan pemerintahan Orde Baru. Soeharto makin cemas setelah aktivis PDI, Aberson Sihalolo, menyebarkan formulir berisi dukungan terhadap Megawati untuk menjadi presiden serta ramalan politik Permadi bahwa Megawati akan menjadi Presiden ketiga menggantikan Soeharto. Maka, keluarlah instruksi Soeharto untuk mengganjal gerakan Megawati.

Titah ini, menurut investigasi majalah Tempo edisi Desember 2000, diterima oleh Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Yogie SM. Sebuah operasi pun dirancang. Nama sandinya: Operasi Naga Merah. Salah satu skenarionya adalah menyelenggarakan Kongres Medan pada 20 Juni 1996 untuk memilih kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.

Persoalan menjadi runyam ketika massa PDI proMegawati yang menolak Soerjadi melakukan demonstrasi dan membanjiri jalanan Jakarta. Sejak aparat memperlakukan mereka dengan buruk dalam Insiden Gambir, akhir Juni 1996, massa kemudian terkonsentrasi di kantor PDI Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Mimbar bebas yang hingar bingar pun digelar di sana setiap hari.

Aksi itu, menurut Syamsir Siregar, membuat geram sejumlah pejabat Orde Baru dan kelompok tertentu di ABRI. Eskalasi kegiatan dan dukungan rakyat terhadap Megawati menimbulkan persepsi di kalangan Istana dan inner circle-nya bahwa kantor PDI di Jl. Diponegoro 58 sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa.
”Dikhawatirkan Megawati akan mendongkel Soeharto, begitulah ekstrimnya. Bagaimana pun, kharisma bapaknya sangat kuat. Karena terjadi ketidakadilan, terus karena dia wanita, akhirnya mengundang simpati,” demikian Syamsir Siregar menganalisa.

Meskipun upaya mengganjal Megawati begitu kuat dari aparat dan pejabat pemerintah, bukan berarti tidak ada jenderal yang bersimpati terhadap puteri proklamator Soekarno itu. Pangdam Jaya Mayjen A.M. Hendropriyono, Direktur A BAIS Mayjen Agum Gumelar dan mantan Pangdam Udayana Letjen Theo Syafei, merupakan jenderal yang dekat dengan kandang banteng. Dalam sebuah pertemuan dengan Panglima Kodam Jaya menjelang Munas PDI di Jakarta, Hendropriyono sempat memberikan jaminan kepada Megawati. ”Mbak pasti menjadi Ketua Umum PDI,” kata Hendropriyono yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu. (SH/emy kuswandari)

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/14/nas06.html

SYARIAT ISLAM YES, SYARIAT ISLAM NO

Suara Pembaruan, Minggu, 24 Februari 2002

Piagam Jakarta, Polemik yang Tak Kunjung Usai

Judul Asli: Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945
Penulis: A. Syafii Maarif, et. al.

Editor: Kurniawan Zein & Saripudin HA
Penerbit: Paramadina, Jakarta

Cetakan I, September 2001

Tebal: Xxii+234 halaman


Usulan bahkan desakan mengenai pencantuman kembali tujuh kata “sakral” dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), juga persoalan pemberlakuan syariat Islam tampaknya menyedot perhatian berbagai kalangan. Baik itu politisi, key person (tokoh masyarakat), mahasiswa, sampai kepada wong cilik pun ramai membicarakannya.

Kontroversi seputar Piagam Jakarta pada dasarnya bukanlah sesuatu hal yang baru dan memang tidak bisa dilepaskan dari ikatan sejarah bangsa Indonesia. Namun, perdebatan seputar hal itu seakan tak berujung-pangkal.

Hal itu boleh jadi sebagaimana dalam pengantar buku ini dikatakan oleh Denny JA bahwa persoalan syariat Islam umumnya dan piagam Jakarta khususnya merupakan bagian dari tema besar hubungan Islam-Negara yang kontroversial dan dilematis. Di samping hubungan emosional karena goresan agama dalam masyarakat Indonesia sangat mendalam.

Berkaitan kembali dengan pembicaraan Piagam Jakarta sebenarnya pernah dirembuk dalam tiga parlemen yaitu BPUPKI-PPKI pada tahun 1945, Majelis Konstituante tahun 1956-1959, dan MPRS tahun 1966-1968. Di parlemen sekarang pun masih meninggalkan tanda tanya besar mengenai penyelesaian persoalan tersebut.

Naiknya kembali ke permukaan polemik Piagam Jakarta berawal dari usulan sekaligus keinginan beberapa fraksi (PPP dan PBB) yang justru tidak hanya menimbulkan dualitas demonstrasi (pro dan kontra) di lingkungan parlemen, namun di luar lingkungan parlemen pun telah menimbulkan kecemasan, disintegrasi bangsa, kooptasi negara atas agama, atau pun distorsi pelaksanaan agama.

Gambaran kecemasan tersebut bisa dirasakan dari ekspresi tulisan cendekiawan Nurcholish Madjid atau pun Syafii Maarif. Mereka menegaskan bahwa Islam jangan hanya dilihat dari kaca mata formalistik-simbolik sebab yang akan timbul adalah Islam akan kehilangan rohnya sebagai rahmatan lil ‘alamin mengingat yang dinilai hanya sebatas kulitnya saja, bukan substansinya.

Selain itu, mereka juga mempertanyakan hal ikhwal kooptasi negara dalam menjalankan syariat Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Tak Usah Membuka Kotak Pandora Cak Nur menegaskan bahwa dalam mengamandemen UUD 1945 hendaknya dihindari hal yang bersifat sensitif. Contoh, Islam sekarang berada pada posisi menang, karena itu Piagam Jakarta harus dikembalikan lagi untuk menjalankan syariat Islam. Cak Nur lebih menekankan bahwa Islam harus ditarik dalam garis generalisasi yang universal dan lebih tinggi, tetapi dalam pengaplikasiannya disesuaikan dalam konteks ruang dan waktu sehingga tidak terkesan eksklusif. Nah, yang terjadi kebanyakan dari umat Islam masih melihat segalanya dalam perspektif formalistis dan simbolik (halaman 37).

Pendapat itu diperkuat lagi oleh opini Ketua Umum PP Muhammadiyah M Syafii Maarif yang mengingatkan bahwa apakah dengan pencantuman syariat Islam dalam konstitusi lantas umat Islam di Indonesia akan melaksanakan syariatnya dengan sungguh-sungguh? Apalagi Islam itu tidak hanya berisikan doktrin yang mengatur soal simbol-simbol saja (halaman 42).

Sedangkan, pendapat yang secara eksplisit menginginkan pencantuman kembali Piagam Jakarta serta pemberlakuan syariat Islam bisa kita lihat dari tulisan yang disajikan oleh Ahmad Tholabi Kharlie (kandidat Master Hukum Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan A Muhamad Furwan (alumnus International Islamic University, Malaysia). Khususnya Ahmad Tholabi Kharlie dalam artikelnya yang berjudul Piagam Jakarta Cermin Buram Sejarah Politik Umat Islam, dia sangat menyesalkan atas kecilnya peran politik umat Islam yang tercermin dari kegagalan dimasukkannya Piagam Jakarta dalam konstitusi (halaman 151-153).

Selain tokoh-tokoh di atas, tidak kalah urun rembug uasan para pakar maupun cendekiawan muda yang menarik untuk disimak. Sebut saja Deliar Noer, Masykuri Abdillah, Azyumardi Azra, Luthfi Assyaukanie, Effendi Choirie, Zuhairi Misrawi, dan lain-lain.

Buku ini disusun atas empat bagian ditambah lampiran. Pada bagian pertama menyajikan tiga artikel yang menjadi perspektif dan spektrum dalam melihat tuntutan syariat Islam atau Piagam Jakarta khususnya, serta korelasi Islam dan agama (sic!, negara) umumnya. Sedangkan, pada bagian kedua memuat respons para elite di luar lingkungan parlemen tentang gagasan pencantuman kembali tujuh kara sakral tersebut.

Polemik seputar syariat Islam ditampilkan pada bagian ketiga buku ini. Sedangkan pada bagian keempat, berisi catatan-catatan dari pemerhati syariat Islam berkaitan dengan tuntutan dikembalikannya tujuh kata sakral itu dalam Piagam Jakarta.

Kehadiran buku berupa kumpulan artikel dari berbagai media massa itu perlu kita apresiasi karena selain menawarkan ulasan yang menarik serta menawarkan ide-ide asli dalam memecahkan polemic Piagam Jakarta yang absurd itu, juga tema yang diangkat pun tentu sangat relevan berkaitan dengan kontroversi pengembalian tujuh kata sakral dalam amandemen Pasal 29 ayat 1 yang sedang marak.

Minimal buku ini memberikan deskripsi mengenai risiko-risiko yang harus dipikul kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang kontra atas pencantuman tujuh kata sakral itu. Satu hal yang paling krusial adalah jangan sampai kontroversi itu justru melahirkan konflik horisontal. Apalagi, kalau kita hayati lebih dalam, Islam sangat menjunjung tinggi perdamaian dalam ajarannya, sehingga pengakuan sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak hanya sebatas klain pribadi. (Fachrurozi)

DEMOKRASI TEISTIS


Judul: Demokrasi Teistis, Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia
Penulis: A.M. Fatwa
Kata Pengantar: Prof. Dr. Syafii Maarif
Editor: Saripudin HA
Cetakan: I, 2001
Tebal: 280 halaman


Sinopsis

Demokrasi Teistis
adalah seuah upaya untuk menjabarkan dan kemudian juga melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai yang diyakini sebagai diwahyukan.

Disamping memberi gambaran jelas mengenai bagaimana secara faktual--- dan tentu saja juga secara normatif--demokrasi tesitis itu di jalankan dalam konteks Islam dan negara kesatuan Republik Indonesia, buku ini juga memaparkan bagaimana Islam mendukung isu-isu yang erat dengan demokrasi, seperti HAM, keadilan dan pemerataan kesejahteraan sosial.


Daftar Isi

Bagian 1, Bersiap untuk Masa Baru
Bagian 2, Agama dan Realitas Sosial
Bagian 3, Dakwah dan Integritas Umat
Bagian 4, Fitrah, Ham, dan Pluralisme
Bagian 5, PII, HMI dan GPII
Bagian 6, Orde Baru yang Berubah
Bagian 7, Politik Islam dan Masa Depan

NEGARA SEKULER: SEBUAH POLEMIK

KOMPAS, Senin, 9 Oktober 2000

Memperdebatkan Relasi Agama dan Negara
Oleh: Muhammad Qodari*

Judul: Negara Sekuler Sebuah Polemik
Penulis: Denny JA, Ahmad Sumargono, et. al.
Editor: Saripudin HA

Penerbit: Pura Berdikari Bangsa, 2000
Tebal: xx + 149 halaman.



BUKU berjudul Negara Sekuler, Sebuah Polemik ini sangat menarik untuk dibaca. Bukan saja karena topik yang dibahas, yakni hubungan antara agama dan negara merupakan topik yang "belum selesai", tetapi juga karena ide-ide yang didedahkan (dibeberkan) dalam buku ini berupa debat intelektual antara dua perspektif pemikiran yang "berseberangan".

Menjadi lebih menarik lagi lantaran dalam Sidang Tahunan MPR yang baru lalu, Fraksi PPP dan PBB dengan dukungan sejumlah massa Islam, mengusulkan dimasukkannya "tujuh kata" Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945. Usulan tersebut mau tak mau telah membuat wacana hubungan Islam dengan negara kembali relevan untuk dibicarakan.

***
BETAPA rumit hubungan antara kedua entitas tersebut--uneasy synthesis, kata Bahtiar Effendy (1998)--tampak dari sejarah debat politik yang telah membincangkan tema ini semenjak tahun 1930-an, jauh sebelum negara Republik Indonesia diproklamirkan.

Saripudin HA--editor buku ini--mencatat tak kurang dari empat gelombang debat. Debat pertama di akhir tahun 1930-an antara Soekarno dengan A Muchlis (nama samaran M Natsir), merupakan sebuah kelanjutan polemik sebelumnya tentang kebangsaan Indonesia antara Soekarno, H Agus Salim (tokoh Sarekat Islam), A Hassan (guru Persatuan Islam), dan Is (nama samaran lain M Natsir). Saat itu Soekarno menyatakan bahwa demokrasi tidak akan ada bila staat digabung dengan agama, sementara Natsir berpendapat bahwa "kesempurnaan" realisasi ajaran Islam malah tidak akan terwujud tanpa "alat" negara.

Debat kedua berlangsung dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945, serta sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18-22 Agustus 1945, dalam rangka penyusunan dan pengesahan UUD 1945.

Ketika itu, "wakil" Islam yang duduk dalam BPUPKI mengajukan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan kubu nasionalis menginginkan negara yang netral terhadap agama.

Panitia Kecil yang dibentuk dan diketuai oleh Soekarno untuk mencari jalan tengah dari kedua tuntutan tersebut, akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta. Meski demikian, sidang PPKI 18 Agustus 1945 menghapus "tujuh kata" serta membuang kata-kata Islam dalam Batang Tubuh UUD 1945.

Diskusi yang juga sangat ramai, adalah polemik tahun 1970-an antara Nurcholish Madjid di satu sisi, dengan Prof HM Rasjidi dan Endang Saifudin Anshari di sisi lainnya. Nurcholish "muda" mengusulkan pembaharuan pemikiran Islam dan penyegaran paham keagamaan umat Islam melalui apa yang disebutnya "sekularisasi" (yang tidak harus bersumber dari sekularisme).

Ketika itulah Nurcholish melontarkan semboyannya yang menjadi terkenal: "Islam yes, partai Islam no". Ketika studi doktor di Chicago, Nurcholish kembali terlibat dalam surat-menyurat panjang dengan mantan tokoh Masyumi Mohamad Roem di Tanah Air. Debat dengan surat itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Tidak Ada Negara Islam (1997).

***
DENGAN demikian, debat melalui tulisan yang berlangsung di harian Kompas dan Republika yang kemudian "tumpah" ke beberapa media lainnya, lalu menjadi buku Negara Sekuler, Sebuah Polemik ini, bolehlah disebut sebagai polemik "Islam-Negara" gelombang kelima.

Polemik itu sendiri sebetulnya berlangsung dua "ronde". Pertama, tahun 1997 dan kedua tahun 1999. Polemik seru ini melibatkan dua pendebat utama: Denny JA yang waktu itu menjadi mahasiswa program doktoral di Ohio State University, Amerika Serikat, versus Ahmad Sumargono, tokoh Islam dari Komite Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI), plus sejumlah penanggap lainnya yang mencoba membangun "jalan tengah" di antara keduanya.

Ide dasar Denny JA adalah negara harus sekuler. Negara sekuler memisahkan negara dan agama sedemikian rupa sehingga negara itu tidak menjadi instrumen bagi agama tertentu saja. Tak kurang dan tak lebih, semua warga negara setara kedudukannya dalam hukum dan memiliki hak-hak yang sama.

Menurut Denny, yang dilarang dalam prinsip negara demokrasi sekuler adalah penggunaan negara sebagai instrumen atau aparatus agama tertentu saja. Ini dilarang karena melanggar netralitas negara terhadap agama dan melukai perlakuan sama yang harus diberikan negara atas pluralitas agama.

Ide dasar Denny dikritik oleh Ahmad Sumargono, yang menganut paham Islam sebagai agama yang kaffah, yang mengatur segala aspek kehidupan penganutnya, termasuk dalam urusan negara. Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW selain menjadi pimpinan agama, tak terbantahkan juga adalah seorang pemimpin negara.

Tentang kesalahpahaman berbagai kalangan yang khawatir bila Islam berkuasa akan terjadi diskriminasi terhadap agama lainnya, Ahmad Sumargono menolak. Ia justru menunjuk pelbagai pengalaman buruk umat Islam yang mengalami marjinalisasi dan stigmatisasi, baik di dalam negeri (di masa awal sampai pertengahan Orde Baru) maupun di dunia internasional (sikap Barat seperti tercermin dalam pemikiran politik Samuel Huntington; atau sikap rezim Attaturk dan penerusnya di Turki).

Berdasarkan pengalaman "buruk" ini, Ahmad Sumargono menyimpulkan, Denny JA sedang berangan-angan dengan idenya tentang negara demokratis sekuler yang memisahkan agama dengan negara. Pada praktiknya, ujar Sumargono sambil mengutip sederet contoh kasus di Turki dan Amerika Serikat yang berkali-kali dijadikan model pembahasan oleh keduanya, unsur agama selalu berperan dalam berbagai keputusan politik.

Aspirasi dan kepentingan agama mayoritas, di Amerika Serikat sekalipun, akan mewarnai sistem politik negaranya. Oleh karena itu, tuntutan-tuntutan yang dilancarkan kelompok Muslim, menurut Sumargono bukan dimaksudkan untuk mengadu umat Islam dengan umat beragama lainnya, melainkan untuk mendapatkan tempat yang proporsional sebagai warga mayoritas di Indonesia.

***
SEJUMLAH tulisan tanggapan-langsung atau tidak langsung-yang disertakan dalam buku ini tidak sekadar memperkaya sudut pandang perdebatan tetapi juga mencoba mencarikan sintesa bagi kedua perspektif yang berbeda. Salah seorang penanggap, Ruslani, misalnya, masuk dengan sebuah istilah yang dia anggap pas untuk sikap keberagaman yang mendukung demokrasi, yaitu "teo-demokrasi". Menurut peresensi, apakah istilah ini merupakan anatema atau contradictio in terminis, membutuhkan diskusi tersendiri lagi.

Yang tak kalah penting, pelajaran lain yang dapat diambil dari perdebatan ini adalah kemampuan Denny JA dan Ahmad Sumargono untuk berbeda pendapat secara sehat dan konstrukstif-sebuah keterampilan yang amat langka atau bahkan "punah" di masa Orde Baru. Cara debat demikian itu perlu kita tumbuhkan.

Untuk menegaskan betapa penting dan berharganya berdebat secara sehat, marilah kita kutip kata-kata bijak Prof Dr Yusril Ihza Mahendra dalam pengantarnya di awal buku ini: "Lawan berdebat adalah kawan berpikir.''

*Muhammad Qodari, staf Institut Studi Arus Informasi-ISAI, Jakarta.

Lihat dalam: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/09/dikbud/memp40.htm