Sinar Harapan, 10 Februari 2007
Jalan Damai dalam Catatan Tokoh Aceh
Oleh: Emmy Kuswandari
Judul Buku: Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh
Penulis: Ahmad Farhan Hamid
Editor : Saripudin HA
Penerbit : Suara Bebas
Cetakan: I, Desember 2006
Halaman: 535 Halaman
Damai itu harapan, karena itu ia harus terus diperjuangkan. Keyakinan inilah yang mendasari setiap langkah Ahmad Farhan Hamid, seorang wakil rakyat dari Aceh dari hari ke hari.
Jauh sebelum ia duduk sebagai anggota parlemen. Luka batin akibat konflik berkepanjangan, meyakinkan dirinya untuk mewujudkan damai di bumi kelahirannya ini.
Konflik, perang, ketegangan dan situasi panas memang diakrabi rakyat Aceh sejak zaman penjajahan dulu. Ketegangan datang dan pergi hingga ditandatangani kesepakatan damai pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 lalu.
Semua pihak berharap, penandatanganan perjanjian damai tersebut akan menjadi embrio perdamaian kekal di Tanah Rencong.
Farhan Hamid mengatakan, konflik Aceh dengan pemerintah pusat ini sudah menyentuhnya sejak kecil. Oleh kedua orang tuanya, yang berjuang bersama Tgk Dawud Beureueh, Farhan kecil pun dibawa keluar masuk hutan. Bahkan ia pernah nyaris meninggal kala itu.
Konflik tak kunjung reda. Kecurigaan pemerintah selalu berlebih. Tempat tinggalnya pun tak luput menjadi sasaran. Rumahnya dibakar. “Konflik ini tidak hanya menyentuh kulit saya, tetapi juga jiwa dan kesadaran saya selama ini,” ujar Farhan.
Aceh yang aman dan damai memang menjadi impiannya. Tak pelak, ketika ia menjawab sebagai anggota DPR pun, selalu saja imbauan agar elemen-elemen radikal di Aceh yang bersama GAM dan juga pemerintah bersikap bijaksana untuk menyelesaikan masalah Aceh.
Jalan damai itu ternyata berliku. Nyawa hilang tak terbilang dari kekerasan dan ketegangan yang muncul antara GAM dan Pemerintah RI. Belum lagi dampak psikologis yang akan mempengaruhi satu generasi.
Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913. Catatan ini masih diperpanjang dengan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.
Psikologi yang Tidak Terungkap
Jalan panjang Aceh sudah diulas banyak media, tetapi ada yang menarik dari buku Jalan Damai Nanggroe Endatu ini. Sejak pembahasan Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh di DPR, ia rajin menorehkan catatanya.
Hari demi hari, waktu demi waktu, meski kadang hanya satu dua paragraf, tetapi Farhan membuat catatan, bagaimana proses RUU PA berjalan. Ketidaksukaan, tudingan miring, ketidakpercayaan dari satu pihak, diskusinya dengan banyak kelompok tentang masa depan Aceh, mewarnai catatan panjang Farhan.
Rapat intern Pansus menetapkan jadwal kerja dan mekanisme pembahasan di ruang Pansus D. Alot juga suasana rapat kali ini. FPDIP mengeluarkan jurus: semua bicara. Ada enam orang yang bicara, malah ada yang dua kali. Suasana rapat memberikan gambaran bahwa Pansus ini akan alot, banyak intrik politik, dan ambil perhatian. Dalam hati saya sempat bertanya-tanya, mungkinkah Aceh akan menjadi “korban” politik lagi. Tulis Farhan Kamis 23 Februari 2006 lalu.
Di kesempatan lain ia mencatat, “......para purnawirawan itu sangat keras menolak MoU, menyebut GAM menipu pemerintah. Mereka memang konservatif, amandeman UUD 1945 juga mereka tolak. Mereka saat ini seperti hidup di zaman yang salah, walau mereka tidak boleh disalahkan. (Rabu 1 Maret 2006).
Farhan mencatat banyak hal. Dari yang sederhana hingga pemikirannya yang serius. Bagaimana orang menanggapi RUU PA, bagaimana media memberikan ruang dan tempat untuk aturan tersebut.
Tulisan itu dibuatnya hampir tiap hari. Bagaimana rapat berjalan, bagaimana pertentangan muncul, juga perjalannya ke Swedia untuk merajut proses damai ini bersama dengan pemangku kepentingan yang lain.
Pada hari Jumat 2 Juni 2006, Farhan kembali menulis. Sebuah harian memuat berita yang menurutnya menyakitkan hati Panitia Kerja. Berita tersebut menulis anggota DPR tidak mempunyai sense of crisis karena rapat di hotel mewah. Juga adanya tuduhan rapat panja tertutup karena ada substansi RUU PA yang didagangsapikan.
Jalan Damai Nanggroe Endatu menarik untuk dibaca. Dari kertas yang berserak di meja kerjanya, Farhan cukup jeli dan teliti untuk mengisahkan kembali jalan panjang perdamaian tersebut.
Yang tidak ditemukan di buku lain adalah catatan harian yang dibuatnya sepanjang tahun ketika proses RUU PA dibuat. Buku ini di satu sisi menjadi bentuk pertanggungjawaban dirinya sebagai wakil rakyat.
UU PA memang menjadi jembatan emas menuju Aceh baru. Tetapi jembatan ini harus dilewati dengan rasa percaya dan kerjasama berbagai pihak untuk menjaga damai pascakonflik.
Kesepakatan damai mesti dikawal dengan upaya membangun kepercayaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh.
Implementasi adalah pertaruhan apakah satu pihak berani memercayai pihak lain yang selama ini menjadi lawannya. n
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0702/10/opi05.html
No comments:
Post a Comment