Buku Soeyono "Bukan Puntung Rokok"
Kasus 27 Juli, Puncak Pertarungan Dua Srikandi
Judul: Soeyono: Bukan Puntung Rokok
Penulis: Benny S. Butarbutar
Editor: Qusyaini Hasan
Penerbit: Ridma Foundatio, Jakarta
Cetakan: I, 2003
Tebal: 334 halaman
JAKARTA — Misteri kasus 27 Juli 1996 makin terkuak ketika para pelaku yang terkait dengan insiden pengambilalihan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat yang berlanjut dengan kerusuhan dan pembakaran, mulai berani angkat bicara. Mantan Kepala Staf Umum (Kasum) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Letjen (Purn) Soeyono yang dicopot dari jabatannya akibat kasus tersebut, menulis sebuah biografi yang intinya menjelaskan bahwa kasus 27 Juli adalah blunder politik Orde Baru.
Dalam buku berjudul ”Bukan Puntung Rokok” yang diluncurkan berbarengan dengan hari jadinya yang ke-60 di Jakarta, Kamis (13/3) malam, Soeyono mengungkapkan bahwa kasus 27 Juli merupakan puncak pertarungan dua srikandi dalam panggung politik Indonesia. Sekiranya tidak ada peristiwa 27 Juli 1996, mustahil Megawati Soekarnoputri bisa populer dan menjadi presiden seperti sekarang ini.
"Alih-alih menggembosi Megawati dan mengorbitkan Tutut (Siti Hardiyanti Indra Rukmana -- putri mantan Presiden Soeharto-red) pengambilalihan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro merupakan blunder politik Orde Baru sebagaimana kasus penembakan tokoh oposisi Benigno Aquino pada tahun 1983 yang akhirnya mendudukkan sang ibu rumah tangga, Corazon Aquino menjadi Presiden Filipina,” tegas Soeyono dalam buku setebal 350 halaman itu.
Buku yang ditulis oleh Benny S. Butarbutar, Akhmad Kusaeni dan Budi Rahardjo itu dibedah oleh pengamat politik dari Centre for Strategis and International Studies (CSIS) J. Kristiadi dan pengamat ekonomi Rizal Ramli, serta dihadiri para jenderal angkatan AMN 1965 yang adalah teman-teman seangkatan Soeyono.
Dua srikandi ”kembar” tersebut adalah Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut) dari Golkar dan Megawati Soekarnoputri dari PDI. Pada akhir Desember 1993, kedua srikandi Indonesia itu bertemu muka di kediaman Tutut di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tutut ketika itu belum genap dua bulan menjadi salah satu Ketua Golkar, sementara Megawati baru saja meraih ”pengakuan publik” sebagai Ketua Umum PDI.
Dua Mawar Mekar
Setelah pertemuan itu, kedua srikandi itu bersaing dan saling berebut pengaruh. Inilah yang mengakibatkan pejabat pemerintah dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terlibat dalam intrik-intrik pro dan kontra serta friksi-friksi yang tajam. Secara moral, ketika itu Megawati jelas lebih unggul. Tetapi politik kekuasaan lebih banyak berpihak kepada Tutut.
"Yang pasti, tidak mungkin bila ada dua mawar yang mekar bersamaan. Tidak boleh ada dua srikandi yang mentas bersamaan di panggung politik Indonesia,” kata Soeyono.
Pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996, menurut Soeyono, merupakan klimaks dari upaya menggembosi pamor Megawati dan menaikkan popularitas Tutut. Sejumlah pejabat tinggi militer jelas terlibat dalam kasus ini. Mereka ini, menurut istilah mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Syamsir Siregar, berlomba-lomba mau mendekati Cendana supaya dapat jabatan, baik itu melalui Pak Hartonya langsung, maupun melalui anak-anaknya, khususnya Tutut yang waktu itu sangat besar pengaruhnya di Cendana.
Menurut Syamsir dalam buku tersebut, sejumlah perwira tinggi dan menengah ABRI saling sikut untuk mendapat pengaruh di Cendana. Soeyono, mantan ajudan (ADC) Presiden Soeharto selama sekitar empat tahun yang dekat dengan keluarga Soeharto kecuali dengan Prabowo (menantu Soeharto) itu, menjadi sasaran untuk disingkirkan. Soeyono dan sejumlah perwira angkatan AMN 1965 dianggap sebagai penghalang.
Dalam upaya menggalang pengaruh terhadap Soeharto dan anak-anak keluarga Cendana, khususnya Tutut yang menjadi Ketua Golkar, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) R. Hartono habis-habisan mendukung Golkar. Dalam kesempatan mendampingi kunjungan kerja ke daerah-daerah, Hartono tidak segan-segan mengenakan jaket kuning.
Orang tak bisa melupakan bagaimana seorang jenderal bintang empat mengenakan jaket kuning Golkar dan dengan gagah berani mengatakan bahwa ABRI adalah kadernya Golkar. Suatu pernyataan, yang menurut J. Kristiadi, sangat merendahkan martabat ABRI pada waktu itu.
Bahkan kabarnya Hartono memerintahkan agar semua Pangdam sampai Danrem setelah apel pagi mengenakan jaket Golkar. Semua perilaku politik Hartono ini tidak lepas dari ambisinya untuk menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal Feisal Tanjung.
Kerusuhan massa sebagai akibat pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996 yang menewaskan sedikitnya lima orang dan 149 luka-luka itu memang terkait dengan masalah Megawati yang sedang naik popularitasnya dan Mbak Tutut yang juga sedang diusung popularitasnya, antara lain oleh Hartono dan kawan-kawannya.
Operasi Naga Merah
Keberadaan Megawati sebagai Ketua Umum PDI, seperti dikemukakan oleh pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, membuat gerah Soeharto yang waktu itu menunjukkan gejala-gejala ingin mengorbitkan Tutut sebagai putera mahkota melalui jalur Golkar.
Soeharto khawatir popularitas Megawati akan menggoyahkan pemerintahan Orde Baru. Soeharto makin cemas setelah aktivis PDI, Aberson Sihalolo, menyebarkan formulir berisi dukungan terhadap Megawati untuk menjadi presiden serta ramalan politik Permadi bahwa Megawati akan menjadi Presiden ketiga menggantikan Soeharto. Maka, keluarlah instruksi Soeharto untuk mengganjal gerakan Megawati.
Titah ini, menurut investigasi majalah Tempo edisi Desember 2000, diterima oleh Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Yogie SM. Sebuah operasi pun dirancang. Nama sandinya: Operasi Naga Merah. Salah satu skenarionya adalah menyelenggarakan Kongres Medan pada 20 Juni 1996 untuk memilih kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Persoalan menjadi runyam ketika massa PDI proMegawati yang menolak Soerjadi melakukan demonstrasi dan membanjiri jalanan Jakarta. Sejak aparat memperlakukan mereka dengan buruk dalam Insiden Gambir, akhir Juni 1996, massa kemudian terkonsentrasi di kantor PDI Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Mimbar bebas yang hingar bingar pun digelar di sana setiap hari.
Aksi itu, menurut Syamsir Siregar, membuat geram sejumlah pejabat Orde Baru dan kelompok tertentu di ABRI. Eskalasi kegiatan dan dukungan rakyat terhadap Megawati menimbulkan persepsi di kalangan Istana dan inner circle-nya bahwa kantor PDI di Jl. Diponegoro 58 sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa.
”Dikhawatirkan Megawati akan mendongkel Soeharto, begitulah ekstrimnya. Bagaimana pun, kharisma bapaknya sangat kuat. Karena terjadi ketidakadilan, terus karena dia wanita, akhirnya mengundang simpati,” demikian Syamsir Siregar menganalisa.
Meskipun upaya mengganjal Megawati begitu kuat dari aparat dan pejabat pemerintah, bukan berarti tidak ada jenderal yang bersimpati terhadap puteri proklamator Soekarno itu. Pangdam Jaya Mayjen A.M. Hendropriyono, Direktur A BAIS Mayjen Agum Gumelar dan mantan Pangdam Udayana Letjen Theo Syafei, merupakan jenderal yang dekat dengan kandang banteng. Dalam sebuah pertemuan dengan Panglima Kodam Jaya menjelang Munas PDI di Jakarta, Hendropriyono sempat memberikan jaminan kepada Megawati. ”Mbak pasti menjadi Ketua Umum PDI,” kata Hendropriyono yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu. (SH/emy kuswandari)
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/14/nas06.html
Dalam buku berjudul ”Bukan Puntung Rokok” yang diluncurkan berbarengan dengan hari jadinya yang ke-60 di Jakarta, Kamis (13/3) malam, Soeyono mengungkapkan bahwa kasus 27 Juli merupakan puncak pertarungan dua srikandi dalam panggung politik Indonesia. Sekiranya tidak ada peristiwa 27 Juli 1996, mustahil Megawati Soekarnoputri bisa populer dan menjadi presiden seperti sekarang ini.
"Alih-alih menggembosi Megawati dan mengorbitkan Tutut (Siti Hardiyanti Indra Rukmana -- putri mantan Presiden Soeharto-red) pengambilalihan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro merupakan blunder politik Orde Baru sebagaimana kasus penembakan tokoh oposisi Benigno Aquino pada tahun 1983 yang akhirnya mendudukkan sang ibu rumah tangga, Corazon Aquino menjadi Presiden Filipina,” tegas Soeyono dalam buku setebal 350 halaman itu.
Buku yang ditulis oleh Benny S. Butarbutar, Akhmad Kusaeni dan Budi Rahardjo itu dibedah oleh pengamat politik dari Centre for Strategis and International Studies (CSIS) J. Kristiadi dan pengamat ekonomi Rizal Ramli, serta dihadiri para jenderal angkatan AMN 1965 yang adalah teman-teman seangkatan Soeyono.
Dua srikandi ”kembar” tersebut adalah Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut) dari Golkar dan Megawati Soekarnoputri dari PDI. Pada akhir Desember 1993, kedua srikandi Indonesia itu bertemu muka di kediaman Tutut di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tutut ketika itu belum genap dua bulan menjadi salah satu Ketua Golkar, sementara Megawati baru saja meraih ”pengakuan publik” sebagai Ketua Umum PDI.
Dua Mawar Mekar
Setelah pertemuan itu, kedua srikandi itu bersaing dan saling berebut pengaruh. Inilah yang mengakibatkan pejabat pemerintah dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terlibat dalam intrik-intrik pro dan kontra serta friksi-friksi yang tajam. Secara moral, ketika itu Megawati jelas lebih unggul. Tetapi politik kekuasaan lebih banyak berpihak kepada Tutut.
"Yang pasti, tidak mungkin bila ada dua mawar yang mekar bersamaan. Tidak boleh ada dua srikandi yang mentas bersamaan di panggung politik Indonesia,” kata Soeyono.
Pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996, menurut Soeyono, merupakan klimaks dari upaya menggembosi pamor Megawati dan menaikkan popularitas Tutut. Sejumlah pejabat tinggi militer jelas terlibat dalam kasus ini. Mereka ini, menurut istilah mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Syamsir Siregar, berlomba-lomba mau mendekati Cendana supaya dapat jabatan, baik itu melalui Pak Hartonya langsung, maupun melalui anak-anaknya, khususnya Tutut yang waktu itu sangat besar pengaruhnya di Cendana.
Menurut Syamsir dalam buku tersebut, sejumlah perwira tinggi dan menengah ABRI saling sikut untuk mendapat pengaruh di Cendana. Soeyono, mantan ajudan (ADC) Presiden Soeharto selama sekitar empat tahun yang dekat dengan keluarga Soeharto kecuali dengan Prabowo (menantu Soeharto) itu, menjadi sasaran untuk disingkirkan. Soeyono dan sejumlah perwira angkatan AMN 1965 dianggap sebagai penghalang.
Dalam upaya menggalang pengaruh terhadap Soeharto dan anak-anak keluarga Cendana, khususnya Tutut yang menjadi Ketua Golkar, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) R. Hartono habis-habisan mendukung Golkar. Dalam kesempatan mendampingi kunjungan kerja ke daerah-daerah, Hartono tidak segan-segan mengenakan jaket kuning.
Orang tak bisa melupakan bagaimana seorang jenderal bintang empat mengenakan jaket kuning Golkar dan dengan gagah berani mengatakan bahwa ABRI adalah kadernya Golkar. Suatu pernyataan, yang menurut J. Kristiadi, sangat merendahkan martabat ABRI pada waktu itu.
Bahkan kabarnya Hartono memerintahkan agar semua Pangdam sampai Danrem setelah apel pagi mengenakan jaket Golkar. Semua perilaku politik Hartono ini tidak lepas dari ambisinya untuk menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal Feisal Tanjung.
Kerusuhan massa sebagai akibat pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996 yang menewaskan sedikitnya lima orang dan 149 luka-luka itu memang terkait dengan masalah Megawati yang sedang naik popularitasnya dan Mbak Tutut yang juga sedang diusung popularitasnya, antara lain oleh Hartono dan kawan-kawannya.
Operasi Naga Merah
Keberadaan Megawati sebagai Ketua Umum PDI, seperti dikemukakan oleh pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, membuat gerah Soeharto yang waktu itu menunjukkan gejala-gejala ingin mengorbitkan Tutut sebagai putera mahkota melalui jalur Golkar.
Soeharto khawatir popularitas Megawati akan menggoyahkan pemerintahan Orde Baru. Soeharto makin cemas setelah aktivis PDI, Aberson Sihalolo, menyebarkan formulir berisi dukungan terhadap Megawati untuk menjadi presiden serta ramalan politik Permadi bahwa Megawati akan menjadi Presiden ketiga menggantikan Soeharto. Maka, keluarlah instruksi Soeharto untuk mengganjal gerakan Megawati.
Titah ini, menurut investigasi majalah Tempo edisi Desember 2000, diterima oleh Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Yogie SM. Sebuah operasi pun dirancang. Nama sandinya: Operasi Naga Merah. Salah satu skenarionya adalah menyelenggarakan Kongres Medan pada 20 Juni 1996 untuk memilih kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Persoalan menjadi runyam ketika massa PDI proMegawati yang menolak Soerjadi melakukan demonstrasi dan membanjiri jalanan Jakarta. Sejak aparat memperlakukan mereka dengan buruk dalam Insiden Gambir, akhir Juni 1996, massa kemudian terkonsentrasi di kantor PDI Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Mimbar bebas yang hingar bingar pun digelar di sana setiap hari.
Aksi itu, menurut Syamsir Siregar, membuat geram sejumlah pejabat Orde Baru dan kelompok tertentu di ABRI. Eskalasi kegiatan dan dukungan rakyat terhadap Megawati menimbulkan persepsi di kalangan Istana dan inner circle-nya bahwa kantor PDI di Jl. Diponegoro 58 sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa.
”Dikhawatirkan Megawati akan mendongkel Soeharto, begitulah ekstrimnya. Bagaimana pun, kharisma bapaknya sangat kuat. Karena terjadi ketidakadilan, terus karena dia wanita, akhirnya mengundang simpati,” demikian Syamsir Siregar menganalisa.
Meskipun upaya mengganjal Megawati begitu kuat dari aparat dan pejabat pemerintah, bukan berarti tidak ada jenderal yang bersimpati terhadap puteri proklamator Soekarno itu. Pangdam Jaya Mayjen A.M. Hendropriyono, Direktur A BAIS Mayjen Agum Gumelar dan mantan Pangdam Udayana Letjen Theo Syafei, merupakan jenderal yang dekat dengan kandang banteng. Dalam sebuah pertemuan dengan Panglima Kodam Jaya menjelang Munas PDI di Jakarta, Hendropriyono sempat memberikan jaminan kepada Megawati. ”Mbak pasti menjadi Ketua Umum PDI,” kata Hendropriyono yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu. (SH/emy kuswandari)
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/14/nas06.html
No comments:
Post a Comment