Kompas, Jumat, 15 Juli 2005
Judul: Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan & Saripudin HA
Penerbit: Dharmapena Publishing, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Mantan narapidana politik zaman Orde Baru, AM Fatwa, Kamis (14/7) malam meluncurkan bukunya yang ke-18 berjudul Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional terbitan Dharmapena Publishing. Menurut Fatwa, semua kasus pelanggaran hak asasi manusia harus diproses demi keadilan hukum, tetapi semuanya juga harus berujung damai dan saling memaafkan.
Walaupun untuk kepentingan sejarah, haruslah dicatat dan tidak boleh dilupakan sebagai pelajaran bagi generasi yang akan datang, kata Wakil Ketua MPR tersebut ketika menyampaikan sambutan peluncuran bukunya yang meriah itu.
Hadir dalam peluncuran buku tersebut Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As'at Said.
Fatwa mengatakan kekecewaannya karena peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 walaupun berhasil di bawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc baru-baru ini membebaskan seluruh terdakwa.
Fatwa yang diganjar 18 tahun penjara dan menjalani hukuman sembilan tahun itu menyebut peristiwa Tanjung Priok sebagai "�skenario politik intelijen rezim Orde Baru"�.
Beberapa bulan sebelum peristiwa itu, tepatnya 26 Juli 1984, Fatwa diundang Wakil Gubernur DKI Jakarta Mayjen Edi Nalapraya yang sebelumnya lama menjadi Asisten Intel Laksusda Jaya. Kepada Fatwa, Edi mengatakan, Bahwa intelijen berkesimpulan karena sekian lama Saudara ditekan dan diteror dengan berbagai cara, tapi Saudara tidak bisa berubah, maka terpaksa Saudara akan diselesaikan secara hukum...
Sejak itu hari-hari Fatwa senantiasa ditemani oleh seseorang yang belajar berdakwah kepadanya. Orang itu bahkan mengontrak rumah dekat rumahnya. Namun, belakangan diketahui orang tersebut adalah agan intelijen yang ditugaskan untuk mengikuti Fatwa.
Fatwa menegaskan, walaupun gigih memperjuangkan keadilan hukum dalam kasus itu, secara pribadi ia tidak menyimpan dendam terhadap pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu seperti Try Sutrisno, Benny Moerdani, bahkan Soeharto.
Fatwa mendesak Jaksa Agung untuk memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban Tanjung Priok. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan terbentuk juga harus mengagendakan kasus ini, katanya. (BUR)
No comments:
Post a Comment