Saturday, January 17, 2009

NEGARA SEKULER: SEBUAH POLEMIK

KOMPAS, Senin, 9 Oktober 2000

Memperdebatkan Relasi Agama dan Negara
Oleh: Muhammad Qodari*

Judul: Negara Sekuler Sebuah Polemik
Penulis: Denny JA, Ahmad Sumargono, et. al.
Editor: Saripudin HA

Penerbit: Pura Berdikari Bangsa, 2000
Tebal: xx + 149 halaman.



BUKU berjudul Negara Sekuler, Sebuah Polemik ini sangat menarik untuk dibaca. Bukan saja karena topik yang dibahas, yakni hubungan antara agama dan negara merupakan topik yang "belum selesai", tetapi juga karena ide-ide yang didedahkan (dibeberkan) dalam buku ini berupa debat intelektual antara dua perspektif pemikiran yang "berseberangan".

Menjadi lebih menarik lagi lantaran dalam Sidang Tahunan MPR yang baru lalu, Fraksi PPP dan PBB dengan dukungan sejumlah massa Islam, mengusulkan dimasukkannya "tujuh kata" Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945. Usulan tersebut mau tak mau telah membuat wacana hubungan Islam dengan negara kembali relevan untuk dibicarakan.

***
BETAPA rumit hubungan antara kedua entitas tersebut--uneasy synthesis, kata Bahtiar Effendy (1998)--tampak dari sejarah debat politik yang telah membincangkan tema ini semenjak tahun 1930-an, jauh sebelum negara Republik Indonesia diproklamirkan.

Saripudin HA--editor buku ini--mencatat tak kurang dari empat gelombang debat. Debat pertama di akhir tahun 1930-an antara Soekarno dengan A Muchlis (nama samaran M Natsir), merupakan sebuah kelanjutan polemik sebelumnya tentang kebangsaan Indonesia antara Soekarno, H Agus Salim (tokoh Sarekat Islam), A Hassan (guru Persatuan Islam), dan Is (nama samaran lain M Natsir). Saat itu Soekarno menyatakan bahwa demokrasi tidak akan ada bila staat digabung dengan agama, sementara Natsir berpendapat bahwa "kesempurnaan" realisasi ajaran Islam malah tidak akan terwujud tanpa "alat" negara.

Debat kedua berlangsung dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945, serta sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18-22 Agustus 1945, dalam rangka penyusunan dan pengesahan UUD 1945.

Ketika itu, "wakil" Islam yang duduk dalam BPUPKI mengajukan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan kubu nasionalis menginginkan negara yang netral terhadap agama.

Panitia Kecil yang dibentuk dan diketuai oleh Soekarno untuk mencari jalan tengah dari kedua tuntutan tersebut, akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta. Meski demikian, sidang PPKI 18 Agustus 1945 menghapus "tujuh kata" serta membuang kata-kata Islam dalam Batang Tubuh UUD 1945.

Diskusi yang juga sangat ramai, adalah polemik tahun 1970-an antara Nurcholish Madjid di satu sisi, dengan Prof HM Rasjidi dan Endang Saifudin Anshari di sisi lainnya. Nurcholish "muda" mengusulkan pembaharuan pemikiran Islam dan penyegaran paham keagamaan umat Islam melalui apa yang disebutnya "sekularisasi" (yang tidak harus bersumber dari sekularisme).

Ketika itulah Nurcholish melontarkan semboyannya yang menjadi terkenal: "Islam yes, partai Islam no". Ketika studi doktor di Chicago, Nurcholish kembali terlibat dalam surat-menyurat panjang dengan mantan tokoh Masyumi Mohamad Roem di Tanah Air. Debat dengan surat itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Tidak Ada Negara Islam (1997).

***
DENGAN demikian, debat melalui tulisan yang berlangsung di harian Kompas dan Republika yang kemudian "tumpah" ke beberapa media lainnya, lalu menjadi buku Negara Sekuler, Sebuah Polemik ini, bolehlah disebut sebagai polemik "Islam-Negara" gelombang kelima.

Polemik itu sendiri sebetulnya berlangsung dua "ronde". Pertama, tahun 1997 dan kedua tahun 1999. Polemik seru ini melibatkan dua pendebat utama: Denny JA yang waktu itu menjadi mahasiswa program doktoral di Ohio State University, Amerika Serikat, versus Ahmad Sumargono, tokoh Islam dari Komite Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI), plus sejumlah penanggap lainnya yang mencoba membangun "jalan tengah" di antara keduanya.

Ide dasar Denny JA adalah negara harus sekuler. Negara sekuler memisahkan negara dan agama sedemikian rupa sehingga negara itu tidak menjadi instrumen bagi agama tertentu saja. Tak kurang dan tak lebih, semua warga negara setara kedudukannya dalam hukum dan memiliki hak-hak yang sama.

Menurut Denny, yang dilarang dalam prinsip negara demokrasi sekuler adalah penggunaan negara sebagai instrumen atau aparatus agama tertentu saja. Ini dilarang karena melanggar netralitas negara terhadap agama dan melukai perlakuan sama yang harus diberikan negara atas pluralitas agama.

Ide dasar Denny dikritik oleh Ahmad Sumargono, yang menganut paham Islam sebagai agama yang kaffah, yang mengatur segala aspek kehidupan penganutnya, termasuk dalam urusan negara. Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW selain menjadi pimpinan agama, tak terbantahkan juga adalah seorang pemimpin negara.

Tentang kesalahpahaman berbagai kalangan yang khawatir bila Islam berkuasa akan terjadi diskriminasi terhadap agama lainnya, Ahmad Sumargono menolak. Ia justru menunjuk pelbagai pengalaman buruk umat Islam yang mengalami marjinalisasi dan stigmatisasi, baik di dalam negeri (di masa awal sampai pertengahan Orde Baru) maupun di dunia internasional (sikap Barat seperti tercermin dalam pemikiran politik Samuel Huntington; atau sikap rezim Attaturk dan penerusnya di Turki).

Berdasarkan pengalaman "buruk" ini, Ahmad Sumargono menyimpulkan, Denny JA sedang berangan-angan dengan idenya tentang negara demokratis sekuler yang memisahkan agama dengan negara. Pada praktiknya, ujar Sumargono sambil mengutip sederet contoh kasus di Turki dan Amerika Serikat yang berkali-kali dijadikan model pembahasan oleh keduanya, unsur agama selalu berperan dalam berbagai keputusan politik.

Aspirasi dan kepentingan agama mayoritas, di Amerika Serikat sekalipun, akan mewarnai sistem politik negaranya. Oleh karena itu, tuntutan-tuntutan yang dilancarkan kelompok Muslim, menurut Sumargono bukan dimaksudkan untuk mengadu umat Islam dengan umat beragama lainnya, melainkan untuk mendapatkan tempat yang proporsional sebagai warga mayoritas di Indonesia.

***
SEJUMLAH tulisan tanggapan-langsung atau tidak langsung-yang disertakan dalam buku ini tidak sekadar memperkaya sudut pandang perdebatan tetapi juga mencoba mencarikan sintesa bagi kedua perspektif yang berbeda. Salah seorang penanggap, Ruslani, misalnya, masuk dengan sebuah istilah yang dia anggap pas untuk sikap keberagaman yang mendukung demokrasi, yaitu "teo-demokrasi". Menurut peresensi, apakah istilah ini merupakan anatema atau contradictio in terminis, membutuhkan diskusi tersendiri lagi.

Yang tak kalah penting, pelajaran lain yang dapat diambil dari perdebatan ini adalah kemampuan Denny JA dan Ahmad Sumargono untuk berbeda pendapat secara sehat dan konstrukstif-sebuah keterampilan yang amat langka atau bahkan "punah" di masa Orde Baru. Cara debat demikian itu perlu kita tumbuhkan.

Untuk menegaskan betapa penting dan berharganya berdebat secara sehat, marilah kita kutip kata-kata bijak Prof Dr Yusril Ihza Mahendra dalam pengantarnya di awal buku ini: "Lawan berdebat adalah kawan berpikir.''

*Muhammad Qodari, staf Institut Studi Arus Informasi-ISAI, Jakarta.

Lihat dalam: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/09/dikbud/memp40.htm

No comments:

Post a Comment