Wednesday, January 21, 2009

Trend Politisi Bikin Buku

NEWSLINKweb, Monday, November 17, 2008

Menerbitkan buku belakangan ini menjadi trend bagi para politisi. Hampir tak ada bulan berlalu tanpa peluncurunnya. Entah karena kemampuan intelektual mumpuni atau sekedar latah. Respon publik terhadap buku itu menjadi urusan belakangan. Apalagi menjelang pemilu legislatif, menjadi bagian alat kampanye untuk dibagi-bagikan ke konstituen. Peluncurannya pun biasanya diadakan di hotel megah dengan narasumber tokoh atau pengamat ternama.

Sementara, tulisan ini difokuskan ke para politisi Senayan. A.M. Fatwa salah satu ikon perlawanan rejim Orde Baru paling tidak telah menerbitkan 18 buku sejak keluar penjara sebagai tahanan politik sampai sekarang diposisi Wakil Ketua MPR. Fatwa, pantas disebut anggota yang paling produktif menulis buku, sehingga tak aneh dia menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Dua karya terbarunya Khutbah-khutbah Politik di Masa Orba dan Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2007). Fatwa memang rajin menuangkan ide orisinalnya jadi bukan sekedar kutipan atau tulisan di media massa dijadikan buku. Khusus perlawanannya terhadap rejim Soeharto digambarkan dalam Menggugat dari Balik Penjara (1999).

Yuddy Chrisnandy, tokoh muda Partai Golkar yang berniat menjadi capres menulis tesisnya dalam trilogi. Reformasi TNI, Hubungan Sipil dan Militer (2005), Kesaksian Para Jenderal (2006) keduanya diterbitkan LP3ES. Sementara Military Reform Post Soeharto Era (2007) diterbitkan NTU Singapura. “Disertasi saya dinilai penerbit bagus karena belum ada yang nulis secara akademis soal reformasi TNI. Apalagi saya melakukan wawancara ke lebih 26 jenderal. Buku pertama telah masuk cetakan kedua. Saya bahkan menerima bonus Rp 20 juta,” ujarnya. Menghangatnya isu capres belakangan ini, mendorong Yuddy merangkai kumpulan tulisan lewat Beyond Parliament (2008). “Sudah lama saya menulis di media tentang kepemimpinan pasca reformasi, hegemoni elit dan pentingnya pemimpin muda, jadi gak asal-asalan bikin buku,” tambah Yuddy.

Langkah Yuddy diikuti Aziz Syamsuddin. Wakil ketua Komisi III DPR ini mengangkat disertasi tentang perjudian menjadi buku Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian (2007).

Lain lagi, dengan politisi senior PDI Perjuangan, Sabam Sirait. Pria kelahiran 13 Oktober 1936 ini tidak tahu menahu kalau keluarganya termasuk anaknya Maruarar Sirait (anggota Fraksi PDIP) menyiapkan biografi Meniti Demokrasi Indonesia (2006). Buku ini dihadiahkan secara khusus saat merayakan ulang tahunnya ke-70 dalam suatu acara meriah dengan keynote speaker Megawati Soekarnoputri.

Pembahasan RUU pun bisa menjadi ide dasar. Otonomi khusus Aceh yang mendapat sorotan internasional menginspirasi Ferry Mursyidan Baldan, ketua pansus saat itu dan anggota DPR asal NAD Ahmad Farhan Hamid. Tak lama setelah pengesahan RUU dan penandatanganan MoU Helsinki, seolah berlomba hampir bersamaan Ferry dan Ahmad Farhan membukukan kronologis pembahasannya.

Bagaimana respon publik atas “hujan” peluncuran buku itu? Barangkali bicara sukses secara komersial justru dirasakan oleh mantan anggota DPR periode 1999-2004 Baharuddin Aritonang. Empat buku ditulisnya. Orang Batak Naik Haji (2002), Ketawa Ngakak di Senayan (2003), Dari Uang Rakyat Sampai Pasien Politik (2004), serta Orang Batak Berpuasa (2007) setelah dia bertugas sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BA, demikian Baharuddin disapa, bangga sebab tahun lalu dikabari oleh Ketua DPR Agung Laksono, buku Ketawa Ngakak disimpan di perpustakaan Capitol Hill untuk seksi Indonesia. “Padahal biasanya yang dipajang di library of congress Amerika Serikat itu bernada serius lo,” ujarnya tersenyum pekan lalu. Cerita-cerita para anggota saat di Senayan, ditulisnya secara jenaka namun orisinal. Buku itu telah dicetak ulang sampai empat kali. “Saya akan menulis lagi pengalaman di BPK,” janjinya.

Soal keraguan atas kualitas, Yuddy lebih suka berpikir positif tanpa lupa memberi saran. “Bikin buku itu bagus karena bisa menuangkan visi dan pengalaman aktivitas politik. Politisi jangan cuma ngomong, tapi harus bisa nulis. Tapi, tentunya buku ditulis sendiri ya. Bukan diorder ke orang lain penulisannya,” ujarnya.

Surip, penjual buku di Nusantara II Gedung DPR, mengakui menerima titipan buku-buku karya anggota dewan yang terhormat itu. “Gak bisa ditebak penjualannya. Pembeli kebanyakan tamu dari luar daerah yang datang ke paripurna. Buku Yuddy, Beyond Parliament laku. Sudah terjual 25. Mungkin karena baru launching atau karena dia mau capres ya,” kata Surip. Dia malah menegaskan buku terkait dengan Bung Karno yang dicari. Nah lo!.*[MO]

Sumber: http://newslinkweb.com/2008/11/17/trend-politisi-bikin-buku/

No comments:

Post a Comment